HUKUMAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

BAB II
HUKUMAN DAN PENDIDIKAN

A. Pengertian Hukuman
Secara etimologi hukuman berasal dari kata dasar “hukum” yang berarti undang-undang, peraturan yang mempunyai sangsi hukum. Jika ditambah dengan akhiran -an, maka hukuman berarti: Denda atau pengurungan atas diri yang bersalah.”
Adapun secara terminologi, menurut Kartini Kartono, hukuman adalah perbuatan yang secara intensional diberikan, sehingga menyebabkan penderitaan lahir dan batin, diarahkan untuk menggugah hati nurani dan penyadaran si penderita akan kesalahannya.


Sedangkan menurut Kamus Istilah Pendidikan dan Umum, hukuman secara terminologis diartikan sebagai suatu perbuatan di mana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa dan lebih berkuasa terhadap orang yang lebih lemah baik dari segi jasmani maupun rohaninya yang dilakukan dengan sadar dan sengaja dan mempunyai tujuan yaitu agar memperbaiki dan menyadarkan yang bersangkutan dari kesalahannya dan agar ia tidak mengulanginya lagi.
Dalam konteks pendidikan, hukuman merupakan salah satu alat pendidikan. Adapun yang dimaksud dengan alat pendidikan adalah usaha-usaha atau perbuatan-perbuatan dari si pendidik yang ditujukan untuk melaksanakan tugas mendidik.
Hukuman dapat dijadikan sebagai salah satu alat pendidikan apabila hukuman tersebut dilakukan si pendidik dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Dengan demikian, apabila hukuman tersebut dilakukan oleh pendidik karena ada faktor lain, misalnya karena ia marah atau jengkel terhadap peserta didik yang telah melakukan kesalahan, maka hukuman tersebut tidak dapat disebut alat pendidikan.
Abdullah Nashih Ulwan menggolongan pendidikan dengan memberikan hukuman sebagai salah satu metode pendidikan. Namun demikian ada juga ahli pendidikan yang tidak menggolongkan hukuman sebagai alat pendidikan. Terlepas dari perbedaan tersebut, para ahli pendidikan telah sepakat untuk menggunakan hukuman dalam pendidikan.
Prinsip imbalan dan hukuman memang merupakan salah satu prinsip pendidikan yang fundamental, yang diletakkan oleh agama Islam dalam posisi penting. Kalaulah tidak ada prinsip ini, tentu tiada bedanya antara orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat buruk. Allah swt., berfirman dalam surah al-Mu’min ayat 58 yang berbunyi:
            •  
Harun al-Rasyid berkata kepada orang yang mendidik anaknya, al-Amin, agar jangan terlampau toleran kepada anaknya. Karena anak tersebut akan merasa nyaman dan terbiasa hidup berleha-leha. Beliau menyuruh sang pendidik agar membina anaknya dengan keakraban dan kelembutan. Dan bila tidak berhasil dengan kedua cara ini maka beliau (al-Rasyid) mengizinkan sang pendidik bertindak keras dan kasar kepadanya.
Imbalan dan sanksi merupakan sanksi merupakan bentuk pendidikan, kontrol sosial, dan pembinaan prilaku yang paling menonjol. Imbalan membantu dalam mengokohkan dan menguatkan prilaku yang lurus serta dalam memperbaiki dan meluruskan pelaksanaan sesuatu.
Sehubungan dengan penggunaan sanksi, para pendidik muslin berpesan agar tidak mengandalkan cara itu saja kecuali setelah teknik-teknik targhib tidak membuahkan hasil. Ucapan terima kasih, pujian, memandang baik, memberikan hadiah yang sederhana, dan sebagainya dapat mendorong siswa untuk lebih berhasil. Jika hanya teknik sanksi yang digunakan, akan menyebabkan kemalasan, kelemahan, dan menurunkan semangat. Di samping itu, perlu diperhatikan pula perbedaan indivindual. Di antara anak, ada yang meresa takut hanya dengan isyarat dan ada pula yang menghentikan keburukannya setelah dibentak dengan tegas.
B. Bentuk-bentuk Hukuman
Ada beberapa jenis hukuman yang lazim diterapkan dalam dunia pendidikan, namun secara garis besar, bentuk-bentuk hukuman tersebut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Restitusi, yiatu menyuruh anak untuk melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan.
2. Deprivasi, mencabut atau menghentikan sesuatu yang disenangi anak.
3. Membebani dengan sesuatu yang menyakitkan atau menyedihkan.
Berdasarkan tipe-tipe tersebut, maka dibuatlah bentuk-bentuk hukuman yang beragama macamnya. Adapun bentuk-bentuk hukuman tersebut antara lain:
1. Kontrol Sederhana
Yang dimaksud dengan kontrol sederhana adalah hukuman yang berupa penunjukkan mimik seorang pendidik kepada anak yang telah melakukan pelanggaran disiplin di mana dengan mimik tersebut anak dapat memahami bahwa si pendidik tersebut tidak senang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan ini anak bereaksi seperti merasa malu dan jera. Bentuk kontrol sederhana ini dapat berupa menunjukkan muka marah, menggelengkan kepada, menatap tanpa berkedip, menertawakan secara sinis, dan mimik lainnya.
Kelebihan dari kontrol sederhana ini, antara lain: bersifat simpel, pengajaran tetap berlangsung, menghindari terjadinya hal yang tidak menyenangkan, dan pengaruh yang ditimbulkan tidak terlalu merugikan kepribadian.
Kontrol sederhana ini dapat diterapkan untuk mengatasi siswa yang suka berbicara ketika pelajaran sedang berlangsung atau melakukan kegiatan lain, sehingga ia tidak memperhatikan penjelasn guru tentang materi pelajaran yang diberikan. Pemberian kontrol sederhana ini tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak mengganggu pengajaran yang sedang berlangsung.
2. Menghilangkan Hak Istimewa
Siswa yang telah melakukan pelanggara disiplin dapat dihukum dengan mencabut sebagaian atau seluruh haknya, seperti tidak diikutsertakan dalam kegiatan olahraga, darmawisata atau kesenian. Dengan pencabutan hak ini, siswa akan merasakan kerugian akibat kesalahan yang telah diperbuat, apalagi kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang disukainya.
3. Skorsing
Bentuk hukuman skorsing ini dapat berupa pemindahan siswa dari tempat terjadinya pelanggaran atau tempat yang menyenangkan ke tempat yang tidak menyenangkan. Misalnya ketika pelajaran sedang berlangsung, anak tidak memperhatikan pelajaran, tetapi ia sibuk melakukan kegiatan lain, seperti mencoret-coret kertas, atau memainkan alat tulis, oleh guru, ia kemudian disuruh berdiri di depan kelas. Berdiri di depan kelas sementara siswa lain mengikuti pelajaran merupakan pekerjaan yang tidak menyenangkan karena ia akan ditertawakan oleh teman-temannya.
Bentuk skorsing yang lebih berat dapat berupa dicabut haknya untuk mengikuti kegiatan secara keseluruhan dalam waktu tertentu, misalnya seminggu, sebulan atau satu semester. Selama waktu yang telah ditentukan tersebut, siswa tidak boleh hadir di sekolah atau mengikuti seluruh pelajaran dan kegiatan lainnya.
4. Hukuman Fisik
Hukuman fisik adalah hukuman yang akibatnya lebih dirasakan oleh fisik anak yang menerima hukuman. Hukuman ini dapat berupa pemukulan pada badan, menjewer telinga, berdiri di depan kelas dengan kaki diangkat sebelah atau ditugaskan melakukan suatu pekerjaan, seperti membersihkan wc, mengepel, menyapu halaman, dan sebagainya.
5. Hukuman Verbal
Hukuman verbal adalah hukuman yang berupa kata-kata, seperti membentak, berteriak, memaki atau mengatakan sesuatu yang menimbulkan perasaan bersalah, malu atau takut. Hukuman ini paling sering dilakukan oleh seorang guru, karena sangat mudah dan bahkan sering dilakukan dengan spontan.
6. Menunda Pemberian Ganjaran
Menunda atau meniadakan ganjaran dapat dirasakan seorang anak yang biasanya mendapat ganjaran apabila ia melakukan suatu hal yang baik sebagai suatu hukuman. Dengan tidak memberikan ganjaran, anak akan merasa kecewa dan perasaan kecewa ini merupakan hukuman baginya.
7. Menahan Setelah Sekolah
Siswa yang melakukan pelanggaran, diperintahkan untuk tetap di kelas, sedangkan teman-temannya yang lain pulang. Ketika siswa ditahan, guru bisa membicarakan permasalahan yang dihadapi anak yang menyebabkan ia melakukan kesalahan dan kemudian memberikan nasihat serta jalan keluar dari permasalahan tersebut.
8. Pertemuan Indiviual
Siswa yang melakukan pelanggaran dipanggil untuk menghadap guru atau kepala sekolah di kantor. Pada waktu ini, guru atau kepala sekolah dapat menanyakan penyebab dari pelanggaran yang dilakukan siswa kemudian diberi nasihat.
Demikian beberapa bentuk hukuman yang dapat diterapkan di sekolah juga di rumah oleh orang tua.

C. Urgensi Hukuman dalam Proses Pendidikan
Dalam proses pendidikan, hukuman diperlukan dalam rangka menegakkan kedisiplinan pada diri peserta didik. Tanpa ada hukuman, sulit untuk menanamkan kedisiplinan pada diri peserta didik.
Akan tetapi pada dasarnya hukuman tidaklah mutlak diperlukan, karena ada sebagian orang yang berhasil dididik hanya melalui keteladanan dan nasihat. Namun ada pula orang-orang yang hanya akan berhasil dididik jika dilengkapi dengan kekerasan, yiatu hukuman.
Pendidikan dengan cara lemah lembut dan penuh kasih sayang sering berhasil dalam mendidik anak menjadi orang yang berakhlak mulia, namun pendidikan yang terlalu lembut akan berpengaruh buruk bagi anak karena membuat jiwa anak tidak stabil. Dalam hal ini Muhammad Quth mengemukakan:
Jiwa dalam hal ini sama seperti tubuh, bila terlalu memanjakan, maka jiwa itu tidak akan mampu menahan suatu kerja berat yang melelahkan dan suatu kesulitan yang disulit diatasi. Akibatnya ialah bahwa ia tidak mampu sama sekali dan selalu goyah. Dan bila anda terlalu memanjakan jiwa anda, maka jiwa itu tidak akan mampu sama sekali menahan sesutu yang tidak disenanginya, akibatnya kepribadiannya cair, tidak normal dan goyah. Lebih dari itu, jiwa itu membuat orang tidak bahagia, karena ia tidak memberi kesempatan sedikitpun kepada orang itu untuk menahan perasaannya dan keinginannya. Akhirnya ia terbentur pada kenyataan bahwa tidaklah semua orang di dunia memperoleh semua yang dikehendakinya. Disini haruslah ada “sedikit” kekerasan dalam mendidik anak-anak dan juga orang dewasa buat kepentingan mereka sendiri dan orang lain.
Dalam rangka proses pendidikan, seorang pendidik berhadapan dengan makhluk yang pada dasarnya tidak rasional. Anak pada dasarnya sering belum mampu berfikir untuk menetukan mana yang benar dan mana yang salah. Karena itu, hukuman tetap merupakan sebuah sarana mendidik yang penting. Kadang-kadang hukuman sering merupakan satu-satunya teknik yang efektif untuk menyadarkan anak akan kekeliruan yang dilakukannya.
Rasulullah saw., dalam mendidik kaum muslimin juga menerapkan hukuman jika terjadi pelanggaran disiplin. Beliau juga memerintahkan orang tua untuk menghukum anaknya jika anak tersebut tidak mau melaksanakan perintah Allah. Sabda Rasulullah saw.,:
و عن عمر بن شعيب عن أبيه عن جده رضى الله عنه, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مروا اولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين وأضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بينهم فى المضاجع (رواه ابو داود)
Sesuai dengan definisi dari hukuman yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dikemukakan tujuan dari tujuan dari penerapan hukuman dalam pendidika, yaitu bertujuan untuk memperbaiki individual yang bersangkutan agar menyadari kekeliruannya, dan tidak mengulanginya lagi, melindungi pelakunya agar tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela, sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan-perbuatan salah (nakal, jahat, asusila, kriminal, abnormal, dll), yang dilakukan oleh anak atau orang dewasa.
Jadi, diterapkannya hukuman dalam proses pendidikan untuk memperbaiki anak yang telah melakukan kesalahan itu sendiri. Dengan dijatuhi hukuman seorang anak diharapkan akan menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang salah dan tidak boleh dilakukannya lagi. Tanpa hukuman, kemungkinan anak tidak akan mau menghentikan perbuatan salahnya itu. Di samping itu, hukuman juga sekaligus melindungi orang lain dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan salah tersebut dan juga menjadi contoh bagi orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama.
Jadi kesimpulannya, bahwa hukuman memang perlu diterapkan dalam proses pendidikan. Namun perlu diingat, hukuman jangan dijadikan cara yang utama untuk mengatasi pelanggaran disiplin. Hukuman baru boleh dilakukan jika dengan cara lain tidak berhasil menghentikan perbuatan salah anak didik, seperti dengan teguran dan nasihat.

D. Dampak Hukuman Terhadap Proses Pendidikan
Telah diketahui bahwa hukuman memang diperlukan dalam pendidikan. Akan tetapi, seorang pendidik harus hati-hati untuk menerapkannya kepada peserta didik, karena selain mendatangkan dampak positif, seperti menghentikan pelanggaran, hukuman juga dapat menimbulkan dampak yang negatif.
Ngalim Purwanto, menyebutkan akibat-akibat yang bisa ditimbulkan dari hukuman, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif sebagai berikut:
1. Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum, ini akibat dari hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus dihindari oleh pendidik.
2. Menyebabkan anak lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Ini pun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkan oleh pendidik.
3. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakap-cakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya.
4. Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan bersalah, oleh karena kesalahannya dianggap telah terbayar dengan hukuman yang dideritanya.
5. Akibat yang lain adalah memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.
Jadi adanya hukuman tersebut dapat menimbulkan dendam pada diri anak yang dihukum. Perasaan dendam itu terkadang dilampiaskan kepada orang lain. Misalnya dengan cara mengganggu teman-temannya atau bisa juga dnegan melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya yang tentunya mengakibatkan ia mendapatkan hukuman kembali.
Hukuman juga menyebabkan anak pandai menyembunyikan perbuatan salahnya. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan diterapkannya hukuman. Yang diinginkan dari adanya hukuman adalah bahwa dengan atau tanpa diketahui oleh guru, seorang anak tidak akan melakukan perbuatan salah, karena ia telah sadar akan kesalahan itu.
Dampak negatif lainnya dari penerapan hukuman dalam pendidikan adalah bahwa anak tidak melakukan kesalahan karena anak takut akan hukuman bukan karena kesadarannya. Kalau hal tersebut terjadi, maka anak akan berani melakukan pelanggaran jika ia mengetahui bahwa tidak ada lagi hukuman bagi pelanggaran tersebut.
Ibnu Khaldun, seperti yang dikutip oleh Nashih Ulwan, mengatakan bahwa barang siapa yang diperlakukan keras lagi kasar, harga dirinya akan turun, semangatnya akan lemah, membuatnya malas dan akan sering berdusta karena takut dimarahi. Lama kelamaan, kebiasaan jelek ini menjadi kepribadiannya. Dan rusaklah arti kemanusiaan yang dimilikinya.
Hukuman juga bisa mengakibatkan rusakknya hubungan antara guru dengan anak didik, karena anak mungkin akan merasa benci kepada guru yang telah menghukumnya tersebut. Kalau ini terjadi maka bisa berakibat anak membenci pelajaran yang diajarkan oleh guru yang bersangkutan, akhirnya berakibat prestasinya pada pelajaran itu menjadi rendah. Selain perasaan benci pada guru tersebut, bisa pula timbul perasaan malu dan takut kepada guru yang telah menghukumnya itu, sehingga ia kemudian menghindari terjadinya pertemuan dengan guru itu. Hal ini tentunya juga tidak baik.
Seringkali setelah melakukan kesalahan seorang anak merasa sedih dan menyesal. Dalam hati sebenarnya ia mengakui bahwa apa yang dilakukannya tersebut adalah salah dan merugikan bagi dirinya dan juga orang lain. Pada saat seperti ini, jika anak dihukum, maka kemungkinan bebannya akan bertambah. Hal ini bisa menimbulkan sifat menentang.
Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa anak merasa lebih suka dihukum. Dengan menerima hukuman, anak merasa lega, karena perasaan bersalahnya telah mendapat imbalan. Namun jika anak merasa hukuman yang diterimanya tidak sepadan dengan kesalahannya, maka akan menimbulkan perasaan jengkel pada diri anak.
Hukuman juga terkadang menimbulkan perasaan bersalah pada diri orang yang menghukum. Perasaan bersalah ini membuat mereka kemudian merasa kasihan dan menampakan perasaan kasihan dan bersalah itu kepada anak. Hal ini dapat mengakibatkan hukuman menjadi tidak bermanfaat, anak tidak takut melakukan kesalahan lagi, karena ia mengetahui bahwa yang menghukumnya akan mengasihaninya.
Hukuman juga seringkali tidak sepadan dengan kesenangan yang diperoleh anak dari sebuah pelanggaran. Anak sering mendapatkan kesenangan dari pelanggaran yang dilakukannya, sehingga ia rela dihukum asal kesenangan tersebut dapat dinikmatinya, apalagi kalau hukumana yang diterimanya lebih ringan dibandingkan kesenangan yang diperolehnya tersebut. Jadi meskipun anak telah berkali-kali dihukum, ia akan tetap melakukan pelanggaran.
Banyak anak yang melakukan pelanggaran karena ingin mendapatkan perhatian dari guru atau orang tua. Baginya lebih baik mendapatkan hukuman, karena berarti mereka masih diperhatikan, meskipun dengan perhatian yang negatif, daipada diacuhkan. Dalam hal ini hukuman tidak akan membawa hasil yang baik.
Di samping beberapa dampak negatif yang telah disebutkan, hukuman juga banyak memberikan pengaruh negatif bagi proses pendidikan. Seperti yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto, bahwa hukuman dapat memperbaiki tingkah laku si pelanggar dan juga memperkuat kemauannya untuk melakukan perbuatan baik.

E. Ketentuan-ketentuan Dalam Pelaksanaan Hukuman
Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa penerapan hukuman pada proses pendidikan dapat menimbulkan dampak negatif. Oleh sebab itu, agar dampak negatif tersebut dapat ditekan sekecil mungkin, dan agar hukuman tersebut dapat efektif, maka pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebaggai berikut:
1. Gunakan Hukuman Seiring dengan Konsekuensi-Konsekuensi Lain
Hukuman akan lebih efektif apabila konsekuensi-konsekuensi lain seperti ganjaran dan pengabaian juga diterapkan. Menurut Mallary M. Collins dan Don Fontenelle bahwa ganjaran dan pengabaian hendaknya diterapkan dengan kadar sekitar 60% sampai 70%, sedangkan hukuman diterapkan dengan kadar sekitar 30% sampai 40%. Jadi ganjaran dan pengabaian harus lebih sering diterapkan dibanding dengan hukuman. Jika hukuman dijadikan sebagai metode utama untuk menanamkan kedisiplinan, maka anak akan merasa bahwa guru hanya melihat kepada kesalahannya saja tanpa memperdulikan keberhasilan yang pernah diraihnya. Hal ini dapat mengakibatkan anak malas untuk melakukan perbuatan baik, sebaliknya anak akan terdorong untuk melakukan kesalahan karena ingin mendapatkan perhatian dari guru meskipun dalam bentuk perhatian negatif yaitu hukuman.
2. Jangan Menghukum Secara Acak
Hindarkanlah menghukum anak secara acak, yaitu menentukan hukuman setelah kejadian terjadi. Tentukan jenis hukuman sebelum anak melakukan kesalahan. Dengan cara ini anak akan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan karena ia tidak ingin menerima hukuman yang dijatuhkan akibat kesalahan yang dia lakukan.
3. Hukumlah Dengan Segera
Hukuman hendaknya dilakukan segera setelah terjadi pelanggaran yang dilakukan anak. Hal ini agar anak merasakan adanya pertalian antara pelanggaran yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya. Jika jarak antara waktu pelanggaran dengan pemberian hukuman cukup lama, hukuman tidak akan efektif. Anak telah melupakan pelanggaran yang dilakukan, sehingga ia tidak merasakan bahwa hukuman itu adalah sebagai akibat pelanggarannya. Seperti yang dikatakan oleh Mallary M. Collin dan Don Fontenelle yang mengatakan bahwa konsekuensi negatif yang diterapkan dengan cepat akan berpengaruh dan berhasil yang paling baik dalam mengubah prilaku. Karena itu, guru tidak boleh menunda pemberian hukuman.
4. Orang Yang Melaksanakan Hukuman Harus Memiliki Sifat Pengasih Kepada Anak
Anak yang menerima hukuman dari orang yang diketahuinya menaruh kasih sayang kepadanya akan sangat merasakan akibat dari hukuman tersebut. Anak akan merasakan sedih dan menyesal telah melakukan pelanggaran yang mengakibatkan ia dihukum dan kehilangan kasih sayang dari orang yang selama in telah mengasihinya tersebut terpaksa menghukumnya, karena ia tahu bahwa orang yang menghukumnya juga merasakan kesedihan karena harus menghukumnya.
Dalam hal ini Langeveld mengatakan bahwa barang siapa yang menghukum tanpa mempunyai hubungan batin dengan anak didik yang dihukum, ia sebenarnya bermain sandiwara, yang dapat dilanjutkannya selama anak didik tidak mengetahui, bahwa pendidiknya itu sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan dia. Bila suatu waktu terbuka mata anak didik mengenai keadaan sebenarnya, maka ia akan benci melihat seorang pendidik yang dengan semaunya “menyerobot” hak mengasihi dengan sikap yang tidak kenal cinta.
Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 159, yang berbunyi:
               
Jadi jika orang yang menghukum adalah orang yang tidak memiliki hubungan batin dengan anak yang dihukumnya, ada kemungkinan ia menghukum lebih didasari oleh perasaan marah dan dendam.
5. Bersikaplah Tenang
Jika menjatuhkan hukuman, seorang pendidik harus dapat bersikap tenang. Hal ini agar hukuman yang dijatuhkan benar-benar bersifat pedagogis, artinya hukuman tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk pendidikan, yaitu dengan harapan bahwa hukuman itu dapat mengubah prilaku anak ke arah yang lebih baik. Jika seorang pendidik menjatuhkan hukuman dalam keadaan emosional, maka kemungkinan hukuman itu akan menjadi lebih berat dan tidak sesuai dengan kadar kesalahan anak.
6. Gunakan Peringatan
Sebelum menjatuhkan hukuman sebaiknya berilah peringatan terlebih dahulu. Jangan menghukum anak pada kesalahan yang pertama. Gunakan kesempatan pada kesalahan pertama itu untuk memberikan peringatan, akan adanya hukuman jika mengulanginya lagi. Dengan demikian, anak mendapat kesempatan untuk memikirkan yang diterimanya jika ia melakukan kesalahan.
Berkenaan dengan hal ini, Allah swt., berfirman dalam surah Al-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
         
Pada ayat ini Allah memberitahukan petunjuk kepada para suami yang menghadapi istri yang melakukan pembangkangan. Hendaknya suami memberi nasihat, kemudian jika ia tetap membangkang, maka pisahkan ia dari tempat tidur dan jika ia masih saja membangkang barulah suami boleh memukulnya.

7. Hindari Hukuman Berupa Pemukulan
Hukuman berupa pemukulan sering menimbulkan dendam atau sikap suka melwan. Di samping itu, dikhawatirkan akibat pemukulan itu akan berpengaruh pada fisik anak. Oleh karena itu, jika akan menggunakan pemukulan dalam menghukum, hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi.
b. Tidak boleh memukul dalam keadaan marah, karena dikhawatirkan membahayakan diri anak.
c. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti dada, perut, atau muka.
d. Disarankan agar pukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasarannya adalah kedua tangan atau kaki dengan alat pukul yang lunak, selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan 1 sampai 3 jika anak belum baligh. Tetapi jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulan tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambah lagi sampai hitungan 10.
e. Jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan si anak haruslah diberi kesempatan bertaubat dari kesalahannya.
f. Hukuman harus dilakukan oleh seorang pendidik sendiri, tidak diwakilkan kepada orang lain agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan.
g. Seorang pendidik harus dapat menempatkan waktu yang sudah ditetapkan untuk memulai memukul, yaitu langsung ketika anak melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan jika seorang pendidik memukul anak yang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukula sampai dua hari hampir tidak ada gunanya sama sekali.
h. Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia tidak boleh meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.
8. Jangan Menghukum dengan sistem borongan
Jangan mengumpulkan dulu sekian banyak kesalahan anak baru menghukumnya sekalian. Setiap kali anak melakukan kesalahan, berilah peringatan dan jika ia mengulangi lagi, segeralah beri hukuman, jangan menunggu ia melakukan kesalahan yang lebih banyak. Hal ini agar anak mengetahui bahwa yang dilakukannya itu adalah salah dan tidak boleh diulanginya lagi. Jika anak telah berkali-kali melakukan kesalahan, baru kemudian dihukum, maka anak tidak akan mengetahui perbuatannya yang mana yang salah, sehingga pada suatu saat kemungkinan ia akan kembali melakukannya.
9. Hukuman hanya untuk pelanggaran yang dapat dihindari anak
Seorang pendidik hendaknya tidak menghukum anak yang melakukan kesalahan di luar kemampuannya. Hukuman tidak akan dapat menghentikan pelanggaran anak jika hal tersebut secara biologis tidak mampu untuk dicegah. Tidak ada hukuman yang mampu mengubah sesuatu yang telah berlaku alami.
10. Berilah Nasihat setelah dihukum
Hukuman haruslah diakhiri dengan nasihat-nasihat yang dapat membuat anak menyadari kesalahannya termasuk penjelasan mengapa ia dihukum dan pemberian maaf dari penghukuman. Pemberian maaf ini tidak perlu diucapkan. R.I. Suhartin C, mengemukakan bahwa maaf itu tidak perlu dinyatakan, kadang-kadang cukup dengan menegur anak itu, tidak didiamkan, atau diminta bantuannya. Dengan cara ini anak sudah merasa bahwa ia telah dimaafkan. Hal ini penting sekali, sebab hukuman bagi anak dirasakan sebagai pemutusan “tali” cinta kasih, sehingga betul-betul menyedihkan. Dan “tali” yang putus itu harus disambung dengan maaf atau pengampunan.
Al-Qabasi juga mengakui adanya hukuman dengan pukulan. Namun dia menetapkan beberapa syarat supaya pukulan itu tidak melenceng dari tujuan preventif dan perbaikan ke penindasan dan balas dendam. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Guru tidak boleh melakukan pukulan kecuali karena suatu dosa.
2. Guru harus melakukan pukulan yang selaras dengan dosa yang dilakukan oleh anak. Pukulan itu hanya menggugurkan kewajiban atas tindakan kriminal anak.
3. Pukulan berkisar dari satu hingga tiga kali. Jika orang yang diserahi untuk mendidik anak akan memukul sebanyak satu hingga sepuluh kali, dia perlu meminta izin kepada walinya.
4. Boleh melakukan lebih dari sepuluh pukulan jika usia anak mendekati dewasa dan sulit untuk dididik, berakhlak kasar, dan tidak dapat disadarkan dengan sepuluh pukulan.
5. Guru sendiri yang melakukan pemukulan, tidak boleh mewakilkannya kepada anak yang lain, sebab hal itu akan menimbulkan pertengkaran atau sikap saling melindungi.
6. Pukulan itu sekedar menimbulkan rasa sakit dan tidak boleh menimbulkan luka yang berbahaya.
Demikian ketentuan dalam pelaksanaan hukuman yang harus diperhatikan oleh setiap pendidik agar dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh hukuman tersebut dapat dihindari dan hukuman menjadi lebih efektif.



















Comments

Popular Posts