TEORITIS PENDIDIKAN ANAK

BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ANAK

A. Tujuan Pendidikan Islam
Bila kita ingin berbicara tentang tujuan Pendidikan Islam, kita harus melihat tujuan hidup manusia di dunia ini. Tujuan itu tertera dalam surah al-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi:

      
Artinya: “Dan tidaklah Aku jadikan Jin dan Manusia itu kecuali untuk beribadah kepadaku”.
Beribadah itu jugalah yang menjadi tujuan yang akan dicapai oleh Pendidikan Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan Pendidikan Islam adalah “bagaimana merealisasikan ubudiyah lillah dalam kehidupan insan, baik seca individu ataupun kelompok”.
Ibadah yang dimaksudkan di sini bukanlah terbatas pada ritual-ritual Islam, seperti shalat, puasa dan zakat, tapi lebih luas dari itu. Ibadah dalam pengeritan bahwa seseorang hanya menerima seluruh masalah kehidupannya dari Allah swt., dalam arti bahwa ia terus menerus dalam hubungan dengan Allah swt. Shalat, puasa, zakat tidak lebih dari miftah ibadah/kunci ibadah, atau sebagai halte tempat menambah perbekalan bagi seorang yang sedang mengembara.
Sesungguhnya seluruh perjalanan, mulai dari awal, sampai kepada akhir adalah ibadah. Ibadah dalam pengertian seperti ini mencakup seluruh kehidupan manusia, tidak terbatas pada waktu pendek yang dipergunakan untuk ritual itu saja. Kalau itu yang dimaksud dengan ibadah oleh ayat 56 surah al-Dzariyat itu, tentu ayat itu tidak mempunyai makna yang mendalam. Apa artinya waktu yang bebarapa menit untuk ritual itu jika dibandingkan dengan kehidupan kita yang panjang itu! Hampir ia tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Ayat ini baru mempunyai makna penting bila ibadah dijadikan manhaj hayah/sistim kehidupan manusia ini, dan bila ibadah itu menjadi cara berbuat, dan cara berfikir insan tersebut. Dalam arti bahwa semua perbuatan manusia harus kembali kepada Allah.
Membentuk hubungan hati manusia dengan Allah swt., dan mendorong hati manusia untuk kembali kepada Allah pada setiap saat adalah kaedah pokok Pendidikan Islam. Dengan kaedah inilah semua masalah dilaksanakan. Tanpa kaedah ini segala perbuatan di dunia tidak mempunyai arti.
Tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah roh di samping badan, kemauan yang bebas, dan akal.
Oleh sebab itu, tujuan Pendidikan Islam berbeda dengan tujuan pendidikan lainnya, yaitu membentuk muslim yang beramal shaleh. Dalam arti bahwa manusia yang ingin diciptakan oleh Pendidikan Islam adalah insan yang dalam semua amalnya selalu berhubungan dengan Allah swt.
B. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak
Pendidikan anak yang pertama dan utama dilaksanakan oleh orang tua di dalam keluarga. Untuk itu, diperlukan perencanaan dan persiapan yang rapi. Diperlukan konsep yang handal yang sesuai dengan penciptaan manusia, yaitu khalifah dan abdi Allah swt., penciptaan manusia, yaitu khalifah dan abdi Allah swt.
Digambarkan dalam hadits Rasulullah saw., “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR. Muslim). Tingkah laku seseorang dalam pergaulan sehari-hari merupakan cerminan pendidikan mereka dalam keluarga. Tingkah laku dan cerminan moral tersebut turut berperan dalam masalah kehidupan bangsa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya keluarga dapat berbuat banyak dalam membina moral bangsa, yaitu melalui pembinaan terhadap moral anak-anaknya. Islam menyatakan, bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah tujuan-tujuan moralitas dalam arti yang sebenarnya. Allah berfirman dalam Alquran surah al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
                 
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik, bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan Hari Kiamat dan mengingat Allah dengan dzikir yang banyak.
Pencapaian tujuan moralitas yang sebenarnya dilakukan dengan meneladani Rasulullah saw., yang berarti memperhatikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu. Seorang anak harus dapat mengurus dirinya sendiri, berpikir, mencari hakikat, berkata benar, membela kebenaran, jujur dalam amal perbuatan, bersedia mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk kepentingan bersama, berpegang pada keutamaan, dan menghindari sifat-sifat tercela.
Pendidikan anak harus ditujukan untuk pembentukan kata hati agar anak berperilaku sesuai dengan etika Islam. Mendidik keinginan agar dapat mengendalikan hawa nafsu. Seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu akan mudah melakukan perilaku yang tidak bermoral. Hal itu terlihat pada kenyataan saat ini, begitu Pendidikan anak harus ditujukan untuk pembentukan kata hati agar anak berperilaku sesuai dengan etika Islam. Mendidik keinginan agar dapat mengendalikan hawa nafsu. Seseorang yang tidak mampu mengendalikan hawa nafsu akan mudah melakukan perilaku yang tidak bermoral. Hal itu terlihat pada kenyataan saat ini, begitu begitu marak tindakan maksiat, penyiksaan, penipuan, dan tindak kejahatan lainnya.
Sebagai sebuah solusi, Model Sistem Pendidikan Interventif mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam pendidikan informal di rumah agar anak mencapai kedewasaan moral pada usia 15 tahun. Pendidikan agama Islam di rumah yang dimaksud dalam model ini bukanlah sekadar melaksanakan ritual peribadatan. Model Sistem Pendidikan Interventif memuat pendidikan untuk beragama dalam arti yang sebenarnya, meliputi Akidah, pemantapan keyakinan; Ibadah, melaksanakan peribadatan, baik ritual maupun pemahaman kaidah; serta Muamalah, pelaksanaan dan implementasi dari pemahaman arti ibadah yang berbentuk pelaksanaan perbuatan terhadap lingkungannya perbuatan terhadap lingkungannya.
Model Sistem Pendidikan Interventif diselenggarakan dalam rangka pembinaan sumber daya berkualitas sebagai upaya dan cara yang utama dalam mengatasi masalah umat. Model Sistem Pendidikan Interventif adalah model yang mengacu pada pemeliharaan fitrah anak. Model ini akan mengantarkan anak menjadi seorang individu religius yang selalu berhubungan dengan Allah swt., atau hablumminallah dan makhluk sosial yang selalu melaksanakan hubungan kemanusiaan atau hablumminannas.
Model Sistem Pendidikan Interventif merupakan suatu model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan orang tua dalam meningkatkan cara mendidik anak-anaknya. Suatu model pembinaan yang terkoordinasi, terarah, dan dapat diselenggarakan secara berkelanjutan oleh semua keluarga yang beragama Islam. Suatu bentuk mekanisme kerja sesuai dengan kegiatan pembangunan yang diarahkan untuk mengatasi masalah penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Islam. dan pengamalan nilai-nilai Islam.
Dalam Islam juga ada konsep keluarga sakinah yakni keluarga yang tentram di mana suami-istri dituntut menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmoni antara kebutuhan fisik dan psikis. Yang dimaksud psikis adalah menjadikan keluarga sebagai basis pendidikan sekaligus penghayatan agama anggota keluarga.
Mengapa pendidikan agama lebih urgen dilakukan dalam keluarga? Jawabannya terkait kedudukan keyakinan agama dengan fungsi pendidikan formal dan informal. Agama secara teologis adalah seperangkat nilai yang abstrak yang memiliki kebenaran absolut secara akidah (teologis) bagi pemeluknya, sedang bentuk aplikasi dari nilai itu sudah bersifat syariat (dijabarkan lewat fikih) yaitu dengan cara menyusun pemikiran hukum (istinbatu al-ahkam min al-adilah) dari teori hukum yang ada (ushul fiqih) yang telah disistematisasi dalam bentuk qawaid al-fiqhiyyah.
Dari sini diambil bentuk akhir keputusan hukum keagamaan jika kondisi persyaratan yang melatarbelakanginya mengalami perubahan. Di sinilah letak dinamika pengembangan fikih yang dilakukan dalam Islam dengan metodologi fikih. Dengan demikian implementasi nilai Islam yang abstrak diwujudkan dalam bentuk syariat yang diformulasi dari Alquran, Sunnah, dan Ijtihad (nalar) ulama. Karena intervensi nalar ini maka dikenal istilah mazhab fikih yakni cara ibadah model imam yang diikuti seperti mengikuti cara Syafi'iyah, Malikiyah, Hambaliyah, dan sebagainya.
Kaitannya dengan pendidikan, sebenarnya amat sempit bila pendidikan agama diletakkan dalam pendidikan formal (sekolah), sebab pendidikan formal dibatasi ruang, waktu, kurikulum, target nilai, jenjang, terlebih ada intervensi sistem pendidikan dari luar lembaga pendidikan. Ilmu yang dikaji bersifat terapan, mengedepankan nalar, keberhasilannya diwujudkan dalam kerangka pengembangan pengetahuan yang bersifat praksis seperti teknologi, ekonomi, pranata sosial, dan sebagainya.
Sedang pendidikan agama adalah lebih sakral bersifat sepanjang hidup, yang di dalamnya mencapai target matang (mature) bukan sekadar kaffah (kuantitatif) atau relegiusitas, tetapi kedalaman spiritualitas haqqa (uqatihi). Oleh karena keberagamaan seseorang bersifat spiritualitas, maka menjadi amat privat, pengetahuan yang sama tentang agama antarseseorang belum tentu sama dalam ketakwaan. Di sinilah pendidikan agama menjadi penting diletakkan dalam wilayah yang tidak disekat sistem. Penghayatannya harus paduan antara pengetahuan dan pengalaman. Karena keluarga sebagai basis interaksi secara utuh dalam keseharian seseorang, maka amat tepat pendidikan agama dipercayakan kepada keluarga seperti disebutkan dalam hadis Nabi.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak sangat signifikan dalam membentuk keimanan, keislaman, kemuhsinan, dan keahlakan anak. Orang tua berfungsi sebagai pendidik dan pembimbing, pengayom dan psikolog bagi anak. Karena perannya yang sangat signifikan inilah Allah memberikan pahala yang luar biasa bagi orang tua yang bisa menjadikan anak-anaknya sebagai khalifah yang berjiwa tauhid, muslim, dan muhsin serta berbudi luhur baik terhadap sesama maupun lingkungan di muka bumi ini. Bahkan ketika orang tua mati, dimana tidak ada lagi seseorang yang bisa menambah amal kebaikannya, anak yang saleh masih bisa memberikan doa yang sampai kepada orang tua, ibadah-ibadah yang dikerjakan oleh anak akan juga diterima pahala oleh orang tuanya yang telah meninggal, bahkan tidak dikurangi sedikitpun. Dan untuk melahirkan anak-anak yang shaleh diperlukan kerja keras dari orang tua, dan tidak semudah membalik telapak tangan. Fungsinya sebagai pendidik utama dan pertama membuat orang tua berada pada posisi panglima dalam pembentukan jiwa keagamaan dan kepribadian anak. Fungsi orang tua sebagai pembimbing, menuntut orang tua untuk memberikan bimbingan terhadap perilaku anak, baik yang berkaitan dengan habluminallah maupun habluminannas. Ketika anak memerlukan tempat mencurahkan isi hatinya karena kegundahannya orang tua akan beralih fungsi sebagai seorang psikolog.

C. Beberapa Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak
Sesungguhnya pendidikan anak bukanlah sebuah kinerja serampangan yang mudah dilakoni setiap orang tanpa bekal ilmu dan pengetahuan. Pendidikan anak tidak lain adalah proses kinerja rumit yang memiliki sekian barometer detail, kaidah dan formula syariat, serta menerima berbagai bentuk inisiatif (ijtihad) personal dan cara pandang psikologis yang dibangun di atas asas merealisasikan kepentingan-kepentingan anak dan pengembangan daya nalar mereka, perluasan wawasan dan pencegahan mereka dari berbagai hal buruk.
Dr. Adil Syadi dan Dr. Ahmad Mazid menerangkan tentang beberapa kesalahan orang tua dalam mendididik anak, yaitu:
1. Sikap menyepelekan problematika pendidikan
2. Dikte Orang tua
3. Keteladanan yang kontradiktif
4. Kebekuan Hati
5. Meremehkan Kemungkaran
6. Mengabaikan Realitas
7. Tidak Mengakui Kekeliruan
8. Egois dalam Mengambil Keputusan
9. Tidak menghormati privasi
10. Isolasi
D. Pendidikan Keimanan, Ibadah dan Akhlak pada Anak
Pahala yang paling baik, paling sempurna, dan paling besar, yang akan diperoleh oleh orang tua adalah bila mereka mengajarkan dan menanamkan prinsip-prinsip tauhid dalam hati anaknya. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah: iman, cinta kepada Allah dan Rasul-nya, taat kepada keduanya, serta takut kepada siksa Allah, dan hanya mengharap pahala dari-Nya. Ketika anak mulai bisa berbicara anak diajari kalimat tauhid. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra., yang telah menceritakan bahwa Nabi saw., pernah bersabda:
افتحوا على صبيانكم كلمة لا اله الا الله ولقنوهم عند الموت لا اله الا الله (رواه البيهقى عن مسعود)
Artinya: “Ajarilah kepada anak-anak kalian pada permulaan bicaranya ucapan la ilaaha illallah, dan ajarkan pula agar di akhir hayatnya mengucapkan laa ilaaha illallah.” (Baihaqi dalam Syu’bul ImanJuz 4 Hadits Nomor 8649. Menurut penelitinya, matan hadis ini gharib. Dia tidak menulisnya, kecuali hanya dengan isnad ini).
Dalam hal ibadah Nabi sebenarnya menekankan orang tua untuk mengajarinya sejak kecil, meskipun dalam sebuah hadis orang tua baru diperintahkan untuk menyuruh anak untuk beribadah shalat ketika umur 7 (tujuh) tahun dan memukulnya karena meninggalkan sholat ketika umur 10 (sepuluh) tahun. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.,:
مروا اولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر سنين وفرقوا بينهم فى المضاجع (رواه ابو داود)
Artinya: Perintahkan anak-anak kalian untuk (mengerjakan) shalat ketika mereka berumur 7 tahun, dan pukullah mereka karena (meninggalkan) sholat ketika mereka berumur 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka. (HR Abu Daud)
Dalam penekanan pendidikan akhlak kepada anak dengan menyatakan bahwa sesuatu pemberian yang paling baik dari orang tua adalah pengajaran akhlak. Orang tua hendaknya mengajarkan kejujuran kepada anaknya. Tetapi sebelumnya orang tua wajib melaksanakan sifat jujur itu kepada dirinya sendiri, orang tua hendaknya mengajarkan kepada anak apa nilai keutamaan sifat jujur dan amanah. Orang tua yang berbuat adil kepada anak-anaknya adalah sarana paling efektif untuk mengajari mereka etika keadilan. Demikianlah hendaknya diterapkan dalam pendidikan anak dalam setiap momen untuk membentuk kepribadian islami anak.
E. Metode Pendidikan pada Anak
Firman Allah dalam surah al-Nahl ayat 78:
    •            
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur”
Anak dilahirkan ke dunia hanya membawa fitrah keimanan, tidak mengerti apa-apa tentang ilmu pengetahuan baik yang berhubungan dengan duniawi maupun ukhrawi. Sehingga orang tuanya lah yang dituntut untuk memberikan dan menginternalisaikan pendidikan keimanan, keislaman, dan kemuhsinan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh hadis nabi bahwa anak itu lahir dalam keadaan fitrah dan orang tuanyalah yang berperan dan memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan jiwa keagamaannya. Di dalam menyuntikkan ilmu pengetahuan ketahuidan, keislaman, dan kemuhsinan serta akhlak, maka diperlukan pengetahuan dan metode-metode untuk menginternalisasikannya. Juga dalam menanamkan pendidikan pada anak perlu diperhatikan 3 (tiga) aspek yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor. Apa itu KOGNISI, AFEKSI, PSIKOMOTOR?
• Kognisi dapat diartikan sebagai kegiatan berpikir; mencari, mengelola sampai menggunakan pengetahuan. Anak yang sedang memfungsikan kognisinya akan memulai dari mengamati sesuatu, selanjutnya dicerna dan kemudian dipikirkan.
• Afeksi merupakan perasaan yang dimiliki anak terhadap sesuatu. Seperti perasaan senang, sedih, suka dan tidak suka, baik dan buruk, termasuk sikap dan akhlak.
• Psikomotor berhubungan dengan fisik, misalnya gerakan-gerakan tubuh. Anak yang memiliki psikomotor yang baik dapat melakukan geraka-gerakan fisik dengan seimbang, terarah dan gerakan tersebut memiliki tujuan yang baik.
Usaha meningkatkan kecerdasan anak harus meliputi seluruh ranah pribadi anak, yaitu ranah kognisi, afeksi dan psikomotor. Hal ini dilakukan bertujuan agar anak memperoleh keseimbangan dalam dirinya. Ketika anak cerdas namun juga memiliki kejujuran, tanggungjawab kedisiplinan serta memiliki kekuatan tubuh (fisik) yang baik.
Setiap ranah yang ada dalam diri anak dapat ditingkatkan dengan cara yang berbeda-beda. Untuk meningkatkan kemampuan Kognisi anak, orang tua perlu memberi makanan berupa ilmu pengetahuan, berita dari berbagai media, buku-buku bacaan, alat permainan yang merangsang kreativitas (seperti permainan pasir, balok kreatif, kartu imajinatif, dan sebagainya). Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan Afeksi anak, orang tua bisa memberikan makanan berupa kasih sayang, perhatian, motivasi, ucapan-ucapan bijak dan lembut yang disampaikan pada anak. Dan untuk meningkatkan kemampuan Psikomotor anak, makanannya berupa asupan gizi 4 sehat 5 sempurna, olah raga dan aktivitas gerakan fisik yang cukup.
Saat ini kita bisa dikatakan tak perlu kawatir dengan pemenuhan peningkatan kemampuan kognisi dan psikomotor anak. Di sekolah anak cukup memperoleh rangsangan untuk meningkatkan pengetahuan mereka melalui mata pelajaran yang diberikan. Demikian juga kegiatan olah raga yang rutin disekolah ataupun perhatian kita terhadap gizi anak akan memenuhi kebutuhan peningkatan kemampuan psikomotor anak. Walau demikian bukan berarti di rumah kita tidak perlu lagi memberikan pengetahuan atau perhatian terhadap perkembangan fisik. Namun yang sangat perlu diperhatikan pada saat ini adalah sentuhan afeksi pada anak-anak kita. Anak yang memiliki afeksi yang kuat berarti memiliki kepekaan atau perasaan yang kuat, ia memahami perasaan apa yang sedang ia rasakan, dan mampu memahami perasaan orang lain. Ketika ia kesal karena dijahili temannya, maka reaksi yang muncul adalah kekesalan bukan amarah atau sampai mendendam. Dan seketika itu pula ia tau bagaimana menyikapi diri ketika sedang kesal, agar jangan sampai kekesalannya itu menyakiti temannya tadi. Misalnya dengan kekesalannya itu, ia tidak lantas marah-marah atau sampai memukul temannya, tetapi ia akan dengan lapang dada mengatakan pada temannya ”Saya tidak suka, kalau kamu jahilin saya”.
Afeksi yang baik dalam diri anak juga tercermin dalam kekuatan spiritual anak. Anak yang taat pada kedua ibu bapaknya, mampu menyayangi anak yatim, mengasihi fakir miskin, mampu berserah diri pada Allah, serta taat dalam ibadah menunjukkan kecerdasan afeksi yang dimiliki anak. Karena semua aktivitas tersebut hanya dimiki oleh anak yang peka dan kuat perasaannya.
Rasulullah telah memberikan contoh bagaimana mengembangkan afeksi anak, yaitu dengan memberi ciuman pada anak-anak sebagai wujud rasa sayang Beliau. Dengan demikian aktivitas mencium, membelai, memeluk anak perlu diberikan orang tua kepada anak sehari-hari. Selain itu orang tua juga bisa mengembangkan afeksi anak melalui pemberian motivasi dan keteladanan. Misalnya dengan senantiasa memberikan dorongan anak untuk berbuat baik, mendorong anak untuk memiliki akhlak terpuji maupun mendorong anak untuk senantiasa berdoa dan berserah diri pada Allah swt.
Melalui keteladan, afeksi anak juga dapat dikembangkan. Misalnya orang tua mudah memaafkan dan meminta maaf pada anaknya, tentu hal ini akan dicontoh anak. Lainnya, seperti memberi keteladanan alam bentuk bersabar ketika mengingatkan anak yang lalai, lembut dalam tutur kata, jujur dalam berbicara, bertanggung jawab atas apa yang dipilih atau dilakukan. Semua hal tersebut akan mengembangkan afeksi anak.
Hal lain yang bisa dilakukan, bisa sesekali waktu mengajak anak rihlah (jalan-jalan) ketempat yang pemandangannya indah, seperti pegunungan, sungai, daerah pedesaan yang asri dan sebagainya. Disana, anak kita sentuh afeksinya dengan mengajak mereka merenungi ciptaan Allah yang sangat indah yang wajib disyukuri, merenungi bagaimana ketika bencana tiba-tiba terjadi maka pertolongan Allah yang harus kita pinta untuk pertama kali.
Jika seorang anak tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu takut, ingat, pasrah, meminta pertolongan dan berserah diri kepada Allah, maka ia akan memiliki kemampuan dan bekal pengetahuan di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan, disamping terbiasa dengan sikap dan berakhlaq mulia. Benteng pertahanan agama yang berakar pada hati sanubarinya, kebiasaan mengingat Allah yang telah dihayati dalam dirinya dan instropeksi diri yang telah menguasai seluruh pikiran dan perasaan telah memisahkan anak dari sifat-sifat jelek, kebiasaan-kebiasaan dosa dan tradisi-tradisi jahiliyah yang rusak. Bahkan setiap kebaikan akan diterima menjadi salah satu kebiasaan dan kesenangan, kemuliaan akan menjadi akhlaq dan sifat yang paling utama.
Oleh karena itu peran orangtua sangatlah penting dalam mendidik anak-anaknya, seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ayyub Bin Musa dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw., bersabda:
مـا نحل والد ولده افضل من أدب حسن (رواه الترمذى والحـاكم عن عمرو ابن سعيد بن العـاص)
Artinya: “Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya, kecuali budi pekerti yang baik.”
Dan hadits dari Abdur Razzaq, Sa’id bin Mansyur dan lainnya sebagaimana dinukil oleh Dr. Abdullah Nashih Ulwan:
علموا اولادكم و أهليكم الخير و أدبوهم (رواه عبد الرزاق و سعيد بن منصور)
Artinya: “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anakmu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.”
Dari sinilah bahwa orang tua sangat bertanggung jawab mendidik anak-anak, terutama dari segi pendidikan moralnya, seperti perbaikan jiwa anak, meluruskan penyimpangan, mengangkat anak dari seluruh kehinaan dan menganjurkan bergaul yang baik dengan orang lain.
Demikianlah beberapa hal yang dapat kita lakukan sebagai orang tua untuk meningkatkan kecerdasan anak. Segala usaha tetap harus dibarengi dengan do’a, kemudian berserah diri atas usaha yang telah kita lakukan.
Dalam menerapkan dan menanamkan pendidikan yang diharapkan kepada anak, maka diperlukan metode-metode yang disesuaikan dengan perkembangan anak, di antaranya:
1. Metode Dialog Qurani dan Nabawi
Metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaraan antara dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya. Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
Dalam al-Quran banyak memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitabi, taabbudi, deskritif, naratif, argumentative serta dialog Nabawiyah. Metode dialog sering dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada anak didik untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami.
2. Metode kisah Qurani dan Nabawi
Dalam al-Quran banyak ditemui kisah menceritakan kejadian masa lalu, kisah mempunyai daya tarik tersendiri yang tujuannnya mendidik akhlak, kisah-kisah para Nabi dan Rasul sebagai pelajaran berharga.
Kisah mengandung aspek pendidikan yaitu dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembacanya, membina perasaan ketuhanan dengan cara mempengaruhi emosi, mengarahkan emosi, mengikutsertakan psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita, topic cerita memuaskan pikiran. Selain itu kisah dalam Alquran bertujuan mengkokohkan wahyu dan risalah para Nabi, kisah dalam Alquran memberi informasi terhadap agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah, kisah dalam Alquran mampu menghibur umat Islam yang sedang sedih atau tertimpa musibah.
Metode mendidik akhlak melalui kisah akan memberi kesempatan bagi anak untuk berfikir, merasakan, merenungi kisah tersebut, sehingga seolah ia ikut berperan dalam kisah tersebut. Adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan memberi peluang bagi anak untuk meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan berusaha meninggalkan perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk.
Cerita mengusung dua unsur negatif dan unsur positif, adanya dua unsur tersebut akan memberi warna dalam diri anak jika tidak ada filter dari para orang tua dan pendidik. Metode mendidik akhlak melalui cerita/kisah berperan dalam pembentukan akhlak, moral dan akal anak.
Cerita mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati anak, perasaannnya aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita disenangi orang, cerita dalam Alquran bukan hanya sekedar memberi hiburan, tetapi untuk direnungi, karena cerita dalam Alquran memberi pengajaran kepada manusia. Dapat dipahami bahwa cerita dapat melunakkan hati dan jiwa anak didik, cerita tidak hanya sekedar menghibur tetapi dapat juga menjadi nasehat, memberi pengaruh terhadap akhlak dan perilaku anak, dan terakhir kisah/cerita merupakan sarana ampuh dalam pendidikan, terutama dalam pembentukan akhlak anak.
3. Metode Mauizah
Nasihat mempunyai beberapa bentuk dan konsep penting yaitu, pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan orang diberi nasehat akan menjauhi maksiat, pemberi nasehat hendaknya menguraikan nasehat yang dapat menggugah perasaan afeksi dan emosi, seperti peringatan melalui kematian peringatan melalui sakit peringatan melalui hari perhitungan amal. Kemudian dampak yang diharapkan dari metode mauizah adalah untuk membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa anak didik, membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang kepada pemikiran ketuhanan, perpegang kepada jamaah beriman, terpenting adalah terciptanya pribadi bersih dan suci.
Dalam Alquran menganjurkan kepada manusia untuk mendidik dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Firman Allah swt., dalam surah al-Nahl ayat 125, yang berbunyi:
             •     •       
Artinya: “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Dari ayat tersebut dapat diambil pokok pemikiran bahwa dalam memberi nasehat hendaknya dengan baik, kalau pun mereka membantahya maka bantahlah dengan baik. Sehingga nasehat akan diterima dengan rela tanpa ada unsur terpaksa. Metode mendidik akhlak anak melalui nasehat sangat membantu terutama dalam penyampaian materi akhlak mulia kepada anak, sebab tidak semua anak mengetahui dan mendapatkan konsep akhlak yang benar.
Nasehat menempati kedudukan tinggi dalam agama karena agama adalah nasehat, hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad sampai tiga kali ketika memberi pelajaran kepada para sahabatnya. Di samping itu pendidik hendaknya memperhatikan cara-cara menyampaikan dan memberikan nasehat, memberikan nasehat hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, pendidikan hendaknya selalu sabar dalam menyampaikan nasehat dan tidak merasa bosan/ putus asa.
Ada beberapa langkah dan hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode nasihat, di antaranya:
a. Rayuan dalam nasehat, seperti memuji kebaikan murid, dengan tujuan agar siswa lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan keburukannya.
b. Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
c. Membangkitkan semangat dan kehormatan anak didik.
d. Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
e. Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui sindiran
f. Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini dilakukan akan akan mendorongnya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.
Dengan cara tersebut akan memaksimalkan dampak nasehat terhadap perubahan tingkah laku dan akhlak anak, perubahan dimaksud adalah perubahan yang tulus ikhlas tanpa ada kepura-puraan, kepura-puraan akan muncul ketika nasehat tidak tepat waktu dan tempatnya, anak akan merasa tersinggung dan sakit hati kalau hal ini sampai terjadi maka nasehat tidak akan membawa dampak apapun, yang terjadi adalah perlawanan terhadap nasehat yang diberikan.
4. Metode Pembiasaan dengan Akhlak Terpuji
Manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih, dalam keadaan seperti ini manusia akan mudah menerima kebaikan atau keburukan. Karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk menerima kebaikan atau keburukan hal ini dijelaskan Allah dalam surah al-Syams ayat 7-10, sebagai berikut:
                 
Artinya: ”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia mempunyai kesempatan sama untuk membentuk akhlaknya, apakah dengan pembiasaan yang baik atau dengan pembiasaan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembiasaan dalam membentuk akhlak mujlai sangat terbuka luas, dan merupakan metode yang tepat. Pembiasaan yang dilakukan sejak dini/sejak kecil akan memebawa kegemaran dan kebiasaan tersebut menjadi semacam adab kebiasaan sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadiannya. Hal ini dipertegas lagi dengan hadis Nabi yang berbunyi:

كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه


5. Metode Keteladanan
Orang tua/pendidik itu besar dimata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena murid akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya. Dengan memperhatikan hal di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik akidah, ibadah dan akhlak anak, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik, kalau pendidik berakhlak baik ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak baik, karena murid meniru gurunya, senbaliknya kalau orang tua/guru berakhlak buruk ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak buruk.
Dengan demikian keteladanan menjadi penting dalam pendidikan akhlak, keteladanan akan menjadi metode ampuh dalam membina akhlak anak. Mengenai hebatnya keteladanan Allah mengutus Rasul untuk menjadi teladan yang paling baik, Nabi Muhammad saw., adalah teladan tertinggi sebagai panutan dalam rangka pembinaan akhlak mulai. Ini didasarkan dari firman Allah pada surah al-Ahzab ayat 21, yang berbunyi:
                 

ِArtinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Muhammad saw., menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, di lain pihak pendidik hendaknya berusaha meneladani Muhammad saw., sebagai teladannya, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur yang dapat dijadikan panutan.
6. Metode Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Sedangkan tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukuman. Dapat dipahami bahwa metode pendidikan akidah, ibadah, dan akhlak dapat berupa janji/pahala/hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Metode pemberian hadiah dan hukuman sangat efektif dalam mendidik akhlak terpuji.
Anak berakhlak baik, atau melakukan kesalehan akan mendapatkan pahala/ganjaran atau semacam hadian dari gurunya, sedangkan siswa melanggar peraturan berakhlak jelek akan mendapatkan hukuman setimpal dengan pelanggaran yang dilakukannya.
Pemberian hadiah bisa memberi motivasi siswa untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kebaikan akhlak yang telah dimiliki. Di lain pihak, temannya yang melihat pemberian hadiah akan termotivasi untuk memperbaiki akhlaknya dengan harapan suatu saat akan mendapatkan kesempatan memperoleh hadiah. Hadiah diberikan berupa materi, doa, pujian atau yang lainnya.
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan, dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
a. Memberi nasehat dan petunjuk.
b. Ekspresi cemberut.
c. Pembentakan.
d. Tidak menghiraukan murid.
e. Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
f. Jongkok.
g. Memberi pekerjaan rumah/ tugas.
h. Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
i. Dan alternatif terakhir adalah pukulan ringan.
Dalam memberi sanksi hendaknya dengan cara bertahap, dalam arti diusahakan, dengan tahapan paling ringan, diantara tahapan ancaman dalam Alquran adalah diancam dengan tidak diridhoi oleh Allah, diancam dengan murka Allah secara nyata, diancam dengan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, diancam dengan sanksi akhirat, diancam dengan sanksi dunia.
Demikianlah metode-metode yang bisa diterapkan kepada pendidikan anak, orang tua bisa saja berkreasi dengan metode lain, tetapi tetap dalam tujuan dan koridor-koridor yang dibenarkan dalam Islam, di samping itu disesuaikan dengan minat dan perkembangan anak. Sehingga pendidikan tersebut bisa diterima dan tertanam di hati anak hingga akhirnya menjadi kepribadian anak yang shaleh.
Setelah metode-metode tersebut diterapkan sesuai dengan porsi dan tempatnya, dan orang tua telah melakukannya dengan sebaik-baiknya. Maka hal terakhir yang terbaik yang dilakukan adalah bertawakal kepada Allah dan mendoakan anak-anaknya agar menjadi orang-orang yang saleh. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.,:
لا تدعوا على انفسكم و لا تدعوا على أولادكم (رواه أبو داود عن جـابر بن عبد الله)
Artinya: Janganlah kalian mendoakan kebinasaan atas diri kalian sendiri, dan janganlah kalian mendoakan kebinasaan atas anak-anak kalian…
Allah akan mengabulkan doa, apalagi doa-doa orang tua untuk anaknya. Karena Allah tidak akan pernah ingkar janji bahwa Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya.






















DAFTAR KUTIPAN BAB II


Comments

Popular Posts