IMPLEMENTASI NILAI-NILAI IBADAH KURBAN DALAM PENDIDIKAN ANAK

BAB III
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM
IBADAH KURBAN PADA PENDIDIKAN ANAK

A. Kurban dan Hukumnya
Kurban berasal dari bahasa Arab, al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub kepada Allah.
Allah swt., telah mensyariatkan kurban dengan firman-Nya,"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus." (Al-Kautsar: 1-3).

Firman Allah dalam Alquran surah al-Hajj ayat 36, yang artinya: Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.
Hukum Kurban
Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw., pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).
Hadis Nabi saw.,:
عن أنس، قال: ضحى النبي صلى الله عليه وسلم بكبشين أملحين أقرنين. ذبحهما بيده وسمى وكبر. ووضع رجله على صفاحهما. )رواه مسلم(
Artinya: Dari Anas, dia berkata: Nabi saw., menyembelih dua ekor kambing kibas yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).
Kesunahmuakadan ibadah kurban ini didasarkan oleh hadis dari Ummu Salamah, yang mengatakan bahwa Nabi bersabda:
إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره (رواه مسلم)
Artinya: Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzu al-Hijjah, dan salah seorang di antara kalian ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.
Arti sabda Nabi saw., “ingin berkorban” adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah bukan wajib. Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.
Binatang yang boleh untuk kurban adalah onta, sapi (kerbau) dan kambing. Untuk selain yang tiga jenis ini tidak diperbolehkan. Allah swt., berfirman yang artinya:" Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).
Dan dianggap memadai berkurban dengan domba yang berumur setengah tahun, kambing jawa yang berumur satu tahun, sapi yang berumur dua tahun, dan unta yang berumur lima tahun, baik itu jantan atau betina. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis di bawah ini:
Binatang-Binatang yang Tidak Diperbolehkan untuk Kurban
Syarat-syarat binatang yang untuk kurban adalah bintang yang bebas dari aib (cacat). Karena itu, tidak boleh berkurban dengan binatang yang aib seperti di bawah ini:
a. Yang penyakitnya terlihat dengan jelas.
b. Yang picak dan jelas terlihat kepicakannya.
c. Yang pincang sekali.
d. Yang sumsum tulangnya tidak ada, karena kurus sekali.
Rasulullah saw., bersabda:
اربع لا تجوز فى الضحايا العوراء البين عورهــا, والمريضة البين مرضها, والعرجاء البين ضلعها, والكبيرة التى لاتنقى (رواه احمد و الاربعة)
Artinya: ”Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu : yang tampak jelas butanya, yang tampak jelas sakitnya, yang tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersumsum.” (HR Ahmad dan Imam Empat)
e. Yang cacat, yaitu yang telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.
Selain binatang lima di atas, ada binatang-binatang lain yang tidak boleh untuk kurban, yaitu:
a. Hatma' (ompong gigi depannya, seluruhnya).
b. Ashma' (yang kulit tanduknya pecah).
c. Umya' (buta).
d. Taula' (yang mencari makan di perkebunan, tidak digembalakan).
e. Jarba' (yang banyak penyakit kudisnya).
Juga tidak boleh berkurban dengan binatang yang tak bersuara, yang buntutnya terputus, yang bunting, dan yang tidak ada sebagian telinga atau sebagian besar bokongnya tidak ada. Menurut yang tersahih dalam mazhab Syafi'i, bahwa yang bokong/pantatnya terputus tidak mencukupi, begitu juga yang puting susunya tidak ada, karena hilangnya sebagian organ yang dapat dimakan. Demikian juga yang ekornya terputus.
Waktu Penyembelihan
Untuk kurban disyaratkan tidak disembelih sesudah terbit matahari pada hari 'Idul Adha. Sesudah itu boleh menyembelihnya di hari mana saja yang termasuk hari-hari Tasyrik, baik malam ataupun siang. Setelah tiga hari tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.
Dari al-Barra' ra., bahwa Nabi saw., bersabda:
إن أول ما نبدأ به في يومنا هذا، نصلي ثم نرجع فننحر. فمن فعل ذلك، فقد أصاب سنتنا. ومن ذبح، فإنما هو لحم قدمه لأهله. ليس من النسك في شيء (رواه مسلم)
Artinya: "Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (Idul adha) adalah kita salat, kemudian kita kembali dan memotong kurban. Barangsiapa melakukan hal itu, berarti ia mendapatkan sunnah kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum itu, maka sembelihan itu tidak lain hanyalah daging yang ia persembahkan kepada keluarganya yang tidak termasuk ibadah kurban sama sekali."
Dari Bara’ ra., mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
من صلى صلاتنا، ووجه قبلتنا، ونسك نسكنا، فلا يذبح حتى يصلي (رواه مسلم)
Artinya: Barangsiapa salat sesuai dengan salat kami dan menghadap ke kiblat kami, dan beribadah dengan cara ibadah kami, maka ia tidak menyembelih kirban sebelum ia salat'."
Bergabung dalam Berkurban
Dalam berkurban dibolehkan bergabung jika binatang korban itu berupa onta atau sapi (kerbau). Karena, sapi (kerbau) atau unta berlaku untuk tujuh orang jika mereka semua bermaksud berkurban dan bertaqarrub kepada Allah swt.
Nabi saw., memberikan penetapan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
و عن جابر بن عبد الله قال : نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عام الحديبية البدنة عن سبعة و البقرة عن سبعة (رواه مسلم)
Artinya: Jabir bin Abdullah berkata: Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah saw., pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.
Pembagian Daging Kurban
Disunahkan bagi orang yang berkurban memakan daging kurbannya, menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyerahkannya kepada orang-orang fakir. Dalam hal ini para ulama mengatakan, yang afdhal adalah memakan daging itu sepertiga, menyedekahkannya sepertiga dan menyimpannya sepertiga. Daging kurban boleh diangkut (dipindahkan) sekalipun ke negara lain. Akan tetapi, tidak boleh dijual, begitu pula kulitnya. Dan, tidak boleh memberi kepada tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berkurban boleh bersedekah dan boleh mengambil kurbannya untuk dimanfaatkan (dimakan).
Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan uangnya disedekahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat untuk rumah.
Orang yang Berkurban Menyembelihnya Sendiri
Orang yang berkorban yang pandai menyembelih disunahkan menyembelih sendiri binatang kurbannya. Ketika menyembelih disunahkan membaca, "Bismillahi Allahu Akbar, Allahumma haadza 'an?" (Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar, ya Allah kurban ini dari ?[sebutkan namanya]).
Karena, Rasulullah saw., menyembelih seekor kambing kibasy dan membaca, "Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma haadza 'anni wa'an man lam yudhahhi min ummati" (Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah sesungguhnya (kurban) ini dariku dan dari umatku yang belum berkurban)." (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Sabda Rasulullah saw.,:
عن جابر بن عبد اللّه قال: ذبح النبي صلى اللّه عليه وسلم يوم الذبح كبشين أقرنين أملحين موجئين ، فلما وجههما قال: "إنِّي وجهت وجهي للذي فطر السموات والأرض، على ملة إبراهيم حنيفاً، وما أنا من المشركين، إنَّ صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي للّه ربِّ العالمين لاشريك له، وبذلك أمرت وأنا من المسلمين، اللهمَّ منك ولك عن محمدٍ وأمته، باسم اللّه واللّه أكبر" ثم ذبح .(رواه أبو داود)
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Nabi saw., menyembelih pada hari Raya Adha dua ekor kibas yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya). Manakala dihadapkan kedua kibas itu, beliau bersabda: Inni wajahtu …Allahumma minka wa laka an Muhammad wa umatihi, bi ismillah wa Allahu akbar.” Kemudan beliau menyembelih.
Jika orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, hendaknya dia menghadiri dan menyaksikan penyembelihannya. Dan menyembelihnya pun harus dengan adab-adab syariah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, hadis Nabi saw.,:
عن شدّاد بن أوس قال: خصلتان سمعتهما من رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم "إن اللّه كتب الإِحسان على كلِّ شيء، فإِذا قتلتم فأحسنوا".(رواه أبو داود)
Artinya: Dari Saddad bin Aus, dia berkata: dua hal yang aku dengar dari Rasulullah saw.,: (1) Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan atas tiap sesuatu, (2) apabila kalian hendak menyembelih maka baguskanlah sembelihan kalian.
B. Hikmah Kurban
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Nabi Ibrahim as., dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw., "Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla."
Memperingati Idul Adha, atau bisa juga disebut hari raya Kurban, sesungguhnya menuntut kembali ketakwaan dan peran umat Islam di tengah realitas sosial, setelah sekitar dua bulan sebelumnya telah meninggalkan puasa di bulan Ramadhan dan dilanjutkan Idul Fitri yang pesan-pesannya adalah juga supaya kaum muslim menjadi orang bertakwa.
Adanya keyakinan bahwa nilai takwa bersifat fluktuatif, maka pesan hari raya Kurban seperti ingin meneguhkan kembali keimanan dan kedekatan akan kehadiran Tuhan sebagai salah satu implementasi pesan takwa. Hari raya Kurban jauh dari mitos-mitos di balik penyembelihan hewan, bahkan secara tegas dalam firman-Nya, dikatakan dalam Alquran sendiri bahwa Tuhan tak menilai darah dan daging hewan kurban, tetapi hanya menilai ketakwaan seseorang. Firman Allah swt., dalam surah al-Hajj ayat 37 yang artinya: "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Asal usul diturunkannya ayat itu (asbab al-Nuzul) adalah terkait dengan kisah-kisah Israiliyat, dalam arti kisahnya juga tertuang pada kitab Perjanjian Lama yang juga dipegang oleh kaum Yahudi dan Nasrani. Dikisahkan bahwa Nabi kaum monoteis, Nabi Ibrahim, ketika itu diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya, Ismail, lewat suatu mimpi. Karena ketakwaannya yang tinggi, Ibrahim menuruti perintah itu. Namun ketika akan mengeksekusi, Tuhan menggantikannya dengan seekor domba yang besar. Melihat secara integral atas firman Tuhan di atas, jelas bahwa hari raya Kurban ingin meneguhkan ketakwaan di satu sisi dan di sisi lain menyiratkan pesan bahwa berkurban sangat jauh dari mitologi penyembelihan hewan seperti dituduhkan kaum Jahiliyah pada masa Nabi Muhammad.
Sebaik-baiknya pesan takwa, kemudian tak berhenti hanya pada penghadiran kembali akan Tuhan dalam iman kaum muslim, namun melampaui dari itu, iman akan Tuhan kemudian diimplementasi ke dataran realitas-sosiologis, sehingga kehadiran kaum muslim berperan dalam setiap aspek kehidupan sosial yang ada.
Kurban dan Realitas Sosiologis
Pada skala yang bertataran mikro dan simbolik dalam Idul Adha, kaum muslim yang berkecukupan-ekonominya diperintah untuk berkurban. Ia membeli hewan kurban seperti domba untuk satu orang, sedangkan hewan lain seperti kerbau atau sapi bisa untuk tiga orang lebih. Sekali lagi, nilai-nilai yang dituangkan dalam mekanisme seperti itu adalah dalam rangka memupuk iman dan ketakwaan pada Tuhan yang kategorinya dijustifikasi oleh ketentuan hukum (fikih). Hewan-hewan kurban itu lalu disembelih, kemudian dagingnya dibagi-bagikan hingga menjangkau lebih dari 30 orang fakir-miskin (untuk satu hewan kurban) dalam komunitas di mana seseorang yang berkurban itu tinggal.
Jika dilihat pada skala makro, pesan hari raya kurban menyiratkan tentang pentingnya arti kepedulian akan sesama. Maksudnya jelas, ketakwaan bukan berarti hanya kesalehan individu yang tak menyentuh dengan persoalan-persoalan, misalnya, kemiskinan. Namun di situ ketakwaan mesti berimplikasi pada peneguhan identitas seorang muslim untuk turut berpartisipasi secara konkret terhadap pengentasan kemiskinan dan berkiprah dalam realitas sosial. Kesadaran untuk peduli terhadap sesama itu sangat penting, karena kehidupan manusia pada intinya saling bersimbiosis. Yang kaya membutuhkan yang miskin, begitu pula sebaliknya.
Dalam ajaran Islam, seseorang diperintahkan untuk mencari kekayaan, karena kemiskinan akan membawa pada kekafiran. Namun ketika Tuhan telah memberi rizki yang banyak dan memberi kekayaan pada seseorang, maka sudah sepatutnya pula kekayaannya diperuntukan untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan berguna bagi realitas sosiologis. Karena kesadaran akan iman kemudian menghantarkan pengetahuan, bahwa kemiskinan akan membawa kekafiran, atau bahkan bisa mengakibatkan kerusakan jiwa pada orang yang miskin, maka tugas mengentaskan kemiskinan adalah bersifat wajib bagi tanggung jawab orang kaya. Rasa peduli itu di tengah-tengah kebudayaan-globalitas-modernitas yang menyelubungi setiap orang di jaman sekarang ini, terasa sudah sangat menipis, asing dan langka. Sehingga, terkadang diperlukan adanya suatu peringatan-peringatan kembali dalam ranah keagamaan yang mesti diimplementasi dalam ranah sosiologis, seperti adanya perayaan Kurban itu, untuk memacu kesadaran pada setiap orang agar kembali pada pesan-pesan takwa.

Membumikan Pesan Kurban
Selama ini, pembumian pesan-pesan keagamaan hanya diimplementasikan dalam persoalan-persoalan hukum. Atau bisa dikatakan, pola keberagamaan kita sangat berwajah fikih, yang sangat kaku dan formalistik. Sifat fikih yang formalistik itu jelas berpendekatan struktural, dalam arti ada ketentuan-ketentuan batasan yang diberlakukan. Misalnya, berkurban untuk satu orang adalah dengan satu ekor domba, sedangkan untuk dua orang dengan dua ekor domba.
Hal-hal seperti itu sudah diatur dalam kitab-kitab fikih, padahal berkurban, karena ia berimplikasi pada realitas sosial, mestinya tak dibatasi dengan ketentuan seperti itu. Akan tetapi dibatasi (atau pembatasannya) secara kultural ditentukan hingga di mana tingkat kemampuan seseorang bisa memberinya.
Pesan-pesan Islam tak selamanya (dan tak diwajibkan) mesti hanya didekati dengan pendekatan struktural model fikih seperti itu. Tapi justru pendekatan kultural akan lebih melatih tingkat sensitifitas nilai keberagamaan dan iman seseorang.
Kesadaran berkeagamaan baiknya dibangun lewat dimunculkannya nilai-nilai kesadaran kultural itu sehingga pesan-pesan agama yang terselundup dalam iman seseorang ketika akan diimplementasikan tak bersifat paksaan (atau agama seperti memaksa). Namun, implementasi pesan-pesan agama karena terbangun lewat kesadaran kultural, maka bersifat tulus datang dari kesadaran berkeagamaan seseorang itu sendiri.
Melihat tradisi keagamaan yang selama ini dibangun dengan mekanisme dan pendekatan fikih yang formalistik dan struktural seperti itu, sudah saatnya lewat peringatan hari Raya Kurban ini, kemudian pembumian Islam dibangun lewat suatu tradisi baru yang lebih bersifat kultural. Karena hampir sama dengan nilai-nilai ketakwaan itu sendiri, yang datang secara kultural ke dalam iman kaum muslim untuk kemudian terimplementasikan dalam ranah sosiologis. Dengan pembumian kurban, dan juga pembumian ajaran-ajaran Islam lainnya secara kultural, mudah-mudahan kaum muslim dapat memahami, menilai dan mengeksekusi segala persoalan keagamaan yang ada, baik yang bersifat ubudiah maupun amaliah-insaniah, tak bersifat kaku dan formalistik, akan tetapi bisa secara egaliter, cerdas dan substansial dapat mengartikulasi pesan-pesan dalam ajaran Islam.

C. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Ibadah Kurban
Umat Islam seluruh dunia dalam beberapa hari merayakan hari Iedul-Kurban. Para jama'ah haji sibuk dengan ritual melempar Jamarat setelah sehari sebelumnya wuquf di padang Arafah. Pada saat para jama'ah haji wuquf di padang Arafah, mereka yang tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji disunnahkan untuk melaksanakan puasa sehari di hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan menyembelih hewan kurban pada Iedul-Kurban (10 Dzulhijjah).
Ibadah kurban pada hakekatnya mengikuti sunnah keluarga besar nabi Ibrahim as keluarga tauhid yang lurus yang telah memberikan contoh sempurna dalam menghambakan diri kepada Allah. Ada beberapa hikmah keteladan yang perlu kita fahami. Yang pertama dari Hajar, istri nabi Ibrahim, kita dapat belajar keikhlasannya dalam mengorbankan putra satu-satunya yang tercinta, setelah sekian lama bersusah payah dalam mengandung dan melahirkan, dilanjutkan dengan berbagai kesusahan untuk mempertahankan hidup putranya yang ditinggal suaminya di tengah padang pasir yang kering kerontang. Ibu mana yang hidup di jaman modern ini yang akan merelakan anaknya disembelih suaminya yang katanya atas perintah Allah. Hajar, yang karena keimanannya yakin betul bahwa suaminya tidak akan menyalahi perintah Allah, merelakan anaknya disembelih untuk memenuhi seruan Allah. Keikhlasan Hajar dalam mengorbankan putranya dapat dijadikan teladan bagi para ibu dalam menumbuhkan jiwa berkorban.
Dari Isma'il sendiri kita dapat belajar bagaimana seorang anak muda karena keimanannya rela mengorbankan nyawanya karena Allah. Ketika ayahnya menyampaikan kepadanya perintah Allah untuk menyembelihnya, Isma'il menjawab yang artinya: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".) Subhanallah, andaikan perintah itu disampaikan kepada anak muda jaman sekarang mungkin ayahnya sudah dituduh gila. Bahkan bukan tidak mungkin ayahnya terlebih dahulu akan dibunuh oleh anaknya. Hanya orang-orang yang mempunyai keimanan dengan landasan tauhid yang kuat yang rela mengorbankan nyawanya karena Allah. Sikap seperti inilah yang mestinya diteladani oleh setiap orang beriman.
Nabi Ibrahim as., nabi yang terkenal karena kelurusan tauhid dan kecerdasan akalnya, telah membenarkan perintah Allah untuk menyembelih anaknya. Dia tidak pernah mempersoalkan perintah yang nampak tidak masuk akal itu dan tidak pernah meragukannya. Dia korbankan kecerdasan akalnya untuk mendahulukan perintah Allah. Di jaman modern manusia terjebak kepada pendewaan akal. Sains dan teknologi seolah muncul sebagai kekuatan baru yang dipertuhan. Padahal semua itu adalah makhluk Allah. Allah telah menciptakan sunnatullah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan sains dan teknologi. Manusia mestinya memanfaatkan akal, sains dan teknologi untuk menghambakan diri kepada Allah. Bukan justru sebaliknya berbuat syirik, menuhankan akal, sains dan teknologi disamping Allah. Sikap nabi Ibrahim as., yang mendahulukan wahyu dari pada akal tersebut tetap relevan untuk dijadikan teladan dalam kehidupan di abad modern ini.
Kurban yang kita laksanakan selama ini yakni dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada keluarga, orang-orang fakir dan orang-orang yang meminta lebih bermakna simbolis. Besar kurban yang kita keluarkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengurbanan yang dilakukan oleh keluarga besar nabi Ibrahim as. Dengan memahami ilmu dan mengikuti keteladannya kita berharap untuk dapat mewarisi sikap mendahulukan Allah dari pada yang lain. Disamping itu dengan melaksanakan ibadah kurban ini diharapkan akan tumbuh jiwa kedermawanan dalam diri setiap orang yang berkurban. Kedermawanan ini sangat penting dalam mendukung kesuksesan dakwah Islam. Maka pantas kalau Rasulullah saw., bersabda bahwa tidak ada amal anak Adam yang paling disukai Allah pada hari raya kurban selain daripada menyembelih kurban.
Lebaran Kurban dikenal sebagai Hari Raya Akbar. Pada hari ini, Bapak Para Nabi, Ibrahim atau Abraham, melukis kisah keagamaan dan kemanusiaan yang tak akan pernah dilupakan oleh sejarah: hendak mengkurbankan anak kesayangannya. Dengan segala keikhlasan dan kasih sayang, Ibrahim membawa anaknya untuk dikurbankan, sesuai dengan perintah Tuhan. Namun Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tak bermaksud mengkurbankan manusia demi diri-Nya. Tanpa sepengetahuan Ibrahim, anak yang hendak dikurbankan telah diganti oleh Tuhan dengan kambing.
Agama-agama samawi melukis kisah suci ini dengan tinta emas. Tak ada perbedaan yang substansial dalam melukiskan kisah agung itu. Oleh karenanya, tak berlebihan bila Lebaran Kurban disebut sebagai ‘gusti’ hari-hari keagamaan. Itu sebabnya, perayaan Hari Raya Kurban di sebagian daerah seperti Timur Tengah jauh lebih besar ketimbang hari-hari kegamaan lainnya.
Hari Raya Kurban tak bisa dilepaskan dari sosok Nabi Ibrahim. Karena, sebagaimana telah dijelaskan, tokoh inilah yang hendak mengkurbankan anaknya. Setidaknya ada dua hal penting untuk dihadirkan kembali terkait dengan Panutan Para Nabi ini. Pertama, pembebasan dan kasih sayangnya kepada keluarga. Ibrahim dikenal sangat menghargai keluarganya. Bahkan memberi kebebasan kepada mereka. Ibrahimlah yang menyampaikan perintah Tuhan dalam bentuk ‘tawar menawar’ kepada anaknya.
Sebagaimana dimaklumi, mengkurbankan anak adalah perintah Tuhan. Namun Nabi Agung ini tidak serta merta memaksa anaknya untuk mengikuti kehendaknya, karena perintah Tuhan sekalipun. Sebaliknya, Ibrahim menyampaikan perintah Tuhan kepada anaknya dalam bentuk ‘tawar menawar’. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah swt., dalam surah al-Shafat ayat 102, yang artinya: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".
Kedua, keberagamaan. Dalam beragama, Ibrahim tak seperti umat kebanyakan pada waktu itu, bahkan umat sekarang. Ibrahim tak mau beragama hanya karena itu adalah agama pendahulu dan masyarakat sekitar. Bagi Ibrahim, agama adalah rasionalitas dan kesadaran, baru kemudian keimanan. Dengan kata lain, sebelum meyakini agamanya, Ibrahim memerdekakan dirinya dari anasir subjektif yang mencakup agama para pendahulu dan masyarakat sekitar. Sebaliknya, Ibrahim berjalan sesuai dengan ‘suara hati’ dalam menemukan agama yang memerdekakan itu.
Kisah panjang pencarian Ibrahim as., terhadap agamanya termaktub dalam kitab-kitab langit. Alquran surat al-An’am (74-79), contohnya, mengisahkan bagaimana Ibrahim hampir menuhankan bintang, rembulan dan matahari hanya karena: mereka menyinari, menerangi dan menghangatkan. Baru kemudian Ibrahim beriman kepada Dzat yang menciptakan semua itu. Bahkan, setelah beriman sekalipun, Ibrahim tetap dengan nalar kritisnya. Ibrahimlah yang pernah bertanya kepada Tuhan tentang proses menghidupkan kembali mereka yang telah mati (QS. 2: 259). Di sini dapat ditegaskan, hakikat perayaan Lebaran Kurban adalah menghidupkan kembali kemerdekaan beragama, sebagaimana telah diajarkan oleh Bapak Para Nabi: Ibrahim as.
Peneguhan kemerdekaan dalam beragama mutlak dibutuhkan di masa sekarang. Tak dapat dipungkiri, agama bagi kebanyakan umat sekarang bukanlah rasionalitas, kesadaran dan keimanan. Agama masih seringkali dipahami sebagai warisan, irasionalis, atau bahkan kekuatan. Akibatnya, keteladanan dalam beragama sebagaimana ditampakkan Nabi Ibrahim jarang ditemukan di masa sekarang.
Yang terjadi saat ini bukan mendialogkan kembali perintah Tuhan (sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim as., kepada anaknya), tapi penerapan perintah Tuhan secara membabi buta. Bahkan, yang masih dalam batasan asumsi sekalipun. Yang terjadi saat ini bukan menghormati keluarga (sebagaimana dilakukan Nabi Ibrahim), tapi memaksa umat untuk mengamalkan seperti yang diyakininya. Hatta umat yang berbeda keyakinan sekalipun.
Tidak ada peristiwa pengorbanan yang terbesar yang tercatat dalam sejarah perkembangan dunia kecuali kisah Nabi Ibrahim as., yang harus menyembelih anak kandungnya Ismail karena mendapat perintah dari Allah swt., untuk mengorbankan anak kandungnya itu. Agaknya selama dunia terkembang inilah kisah pengorbanan yang paling monumental, yang setiap tahun selalu dirujuk dan dikenang. Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim as., yang harus mengorbankan anak satu-satunya, Nabi Ismail as., amat sangat mencekam. Betapa tidak, anak yang paling disayang, diperintahkan untuk dikurbankan.
Dalam perspektif kekinian, perintah itu memang terasa sangat aneh dan mengada-ada. Tapi di zaman nabi-nabi dulu, perintah seperti itu memang dimungkinkan terjadi. Mendengar perintah yang diterima oleh ayahandanya, Ismail dengan yakin dan ikhlas menjawab penuh hormat kepada ayahandanya: "….Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Kemudian, sebagaimana diriwayatkan dalam buku-buku sejarah Islam, Nabi Ibrahim as., membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi di Mina, tempat dimana para jemaah haji beratus-ratus tahun kemudian melakukan ritual melempar jumrah. Konon, sebelum acara penyembelihan dimulai, Ismail as., mengajukan tiga permohonan, yaitu: (1) sebelum ia disembelih hendaknya terlebih dahulu Ibrahim as., mengasah pisau setajam-tajamnya agar ia cepat mati dan tidak menimbulkan rasa kasihan maupun penyesalan dari ayahnya; (2) ketika menyembelih, muka Ismail harus ditutup agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya, karena kasihan melihat wajah anaknya; dan (3) bila penyembelihan telah selesai, agar pakaian Ismail yang berlumuran darah dibawa ke hadapan ibunya, sebagai saksi bahwa kurban telah dilaksanakan.
Maka, sebagaimana diriwayatkan, dengan berserah diri kepada Allah swt., Ismail pun dibaringkan dan dengan segera Ibrahim as., menyentakkan pisaunya dan mengarahkannya ke leher anaknya. Akan tetapi, sebagaimana disebut dalam kitab suci Alquran, keajaiban memang terjadi sebagaimana dikehendaki oleh Allah swt. Ismail as., diganti oleh Allah swt., dengan seekor domba yang besar. Maka kisah mega kurban itu pun berakhir dengan happy ending.
Andaikan Ismail as., tidak diganti secara tiba-tiba oleh Allah swt., dengan seekor domba, maka peristiwa tragis akan terjadi, dan tentu ceritanya akan lain. Tentulah Nabi Ismail as., mati muda dan tentu kemudian Nabi Ibrahim harus membawa pakaian yang berlumuran darah itu pulang ke rumahnya untuk diperlihatkan kepada isterinya yaitu Siti Hajar ibunda dari Ismail as., bahwa kurban telah dilaksanakan. Hati ibu mana yang tidak akan hancur berkeping-keping bila suasana itu kita pandang dalam emosi dengan perspektif kekinian. Dan tentulah lain skenario sejarah mega kurban itu yang harus dijelaskan kepada umat Islam sampai kiamat menjelang.
Peristiwa itu mengingatkan kepada manusia yang beriman bagaimana semestinya kepatuhan dan ketaatan kepada perintah Allah itu. Nabi Ibrahim telah menunjukkan betapa patuhnya dia, dikalahkannya semua perasaan sedihnya yang tentu amat sangat luar biasa. Nabi Ibrahim tidak tahu adanya skenario dari Allah swt., untuk mengganti Ismail dengan domba di saat kritis itu. Oleh karenanya peristiwa mega kurban Nabi Ibrahim as., dan Nabi Ismail as., itu kemudian diabadikan oleh Allah swt., menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang hingga kini dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu.
Setiap tahun kemudian umat Islam yang memiliki kemampuan dan keberadaan selalu menyembelih hewan kurban dan memberikan daging hewan kurbannya kepada orang-orang yang tidak mampu. Daging-daging hewan kurban itu bahkan tidak lagi hanya didistribusikan lintas RT atau RW, Saudi Arabia misalnya, setiap tahun mengirim beratus-ratus ton daging hewan kurban ke negara-negara Islam yang miskin di Afrika. Tindakan menyembelih hewan kurban itu sesungguhnya bermakna simbolik. Di masa Nabi Ibrahim as., hewan ternak merupakan simbol kekayaan yang paling tinggi. Orang yang banyak memiliki ternak adalah orang kaya, orang yang tidak memiliki ternak adalah orang miskin. Tapi di zaman sekarang simbol kekayaan bukan lagi kambing, onta atau sapi, melainkan rumah-rumah mewah, mobil mercy atau perkebunan berhektar-hektar. Menyembelih seekor kambing atau seekor sapi bagi orang kaya harganya mungkin tak seberapa.
Penyembelihan hewan kurban tidak lagi dilihat hanya dalam aspek kepatuhan terhadap perintah Allah swt., ketaatan menjalankan syariat agama, tetapi juga mengandung semangat toleransi dan kesetiakawanan. Lebih dari itu sesungguhnya adalah semangat kebersamaan dan semangat rela berkorban. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah, yang pintar menolong yang bodoh. Dalam makna yang paling hakiki, kurban berarti kedekatan. Esensi pelaksanaan ibadah kurban, adalah sesuai dengan artinya, yaitu dekat, atau dengan kata lain, bahwa kurban merupakan sebuah upaya mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama manusia. Dalam hubungan antar manusia, setiap orang memerlukan orang lain, dan hubungan yang ideal mestilah terbangun atas dasar saling memberi dan mendekatkan diri.
Sebuah negeri yang maju, tidaklah cukup karena negeri itu telah mempunyai sejumlah sumberdaya alam, tenaga terdidik, atau karena mempunyai seperangkat pengaturan. Tidak, sungguh semua itu tidak cukup. Semua kelebihan yang ada hanya akan memberikan hasil yang baik, jika orang-orang yang hidup di dalamnya, memiliki semangat saling berbagi dan punya rasa saling memiliki antara satu komponen dengan komponen yang lain, dan kemudian rasa itu diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kekayaan yang dimiliki oleh sesebuah negeri, akan menjadi sebuah fitnah, atau lebih menakutkan lagi, menjadi punca kehancuran, jika di dalamnya tidak hidup orang-orang yang mampu dan mau berbagi demi kemaslahatan bersama.
Dari sisi yang lain, kurban juga dapat dielaborasi sebagai suatu sikap untuk menjalankan fungsi secara benar. Jika harta merupakan kewajiban dan pelaksanaan fungsi secara benar dari orang kaya terhadap si miskin, maka para birokrat dapat pula melaksanakan makna kurban itu dengan memberikan layanan publik secara maksimal. Begitu juga para pengusaha, ketika ia memperhatikan nasib para buruh dengan baik, maka sesungguh ia telah menjalankan usaha dengan makna yang sama. Pun juga, para penyapu jalan, jika fungsinya dilakukan secara baik, maka iapun akan sampai pada hakikat itu. Sekali lagi, inti kurban adalah, setiap orang melakukan fungsi dalam kapasitasnya masing-masing. Jika kita kembalikan kepada kisah Nabi Ibrahim as di atas, maka bukankah keberanian Nabi Ibrahim, juga didasarkan pada pelaksanaan fungsi dan kewajiban sebagai Nabi Allah yang taat kepada Khaliknya?
Hal yang menyedihkan adalah, bahwa semangat berkurban, dalam berbagai esensi dan makna, kian menipis dalam hubungan horizontal atau sesama manusia. Dewasa ini, orang-orang sepertinya sedang terperangkap dalam kemaruk pemuasan diri sendiri dan melupakan bahwa di sekitarnya ada tanggung-jawab yang harus ia pikul sebagai konsekuensi menjadi "golongan yang dimenangkan" oleh realitas. Kita seringkali dibuat tertegun, ketika melihat, betapa dengan sengaja orang menganiaya orang lain demi kepentingannya, dan sekali waktu kita tersentak pula, ketika menyaksikan betapa orang secara sadar untuk berlaku tidak peduli dengan orang yang mengharapkan pertolongan dari padanya. Bukankah pada sekujur diri kita, ada kewajiban terhadap orang lain? Bukankah Islam mengajarkan, bahwa Orang yang paling berguna/mulia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain?
Hari Raya Kurban ini merupakan sebuah latar dasariah yang baik bagi kita semua untuk kembali ke makna kurban. Jika selama ini kita merasa kurang dekat dengan orang lain maka dari sekarang, mari secara bersama kita memperbaikinya. Jika selama ini kita alpa dalam melakukan kewajiban dan tanggung-jawab kemanusiaan, maka tak ada kata terlambat untuk menata diri. Riwayat mega kurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, akan terus bergemuruh dalam jiwa kemanusian dan kehambaan kita, jika semangat kurban itu kita dentingkan dalam kekinian, serta kita terjemahkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
D. Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Ibadah Kurban Pada Anak
1. Menanamkan nilai-nilai akidah pada anak
Nilai-nilai pendidikan akidah yang bisa diimplementasikan dari ibadah kurban adalah keimanan Nabi Iberahim, Nabi Ismail dan Siti Hajar kepada Allah, meskipun perintah tersebut hanya melalui mimpi dengan bertentangan dengan rasional. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ibadah kurban tersebut adalah wujud dari keikhlasan dari seorang hamba kepada Rabb-nya. Bahkan seorang hamba tersebut bersedia mengorbankan jiwa, harta, perasaan dan apapun yang diminta oleh Tuhannya. Dalam hal ini muncullah pelajaran berharga bagi kita, khususnya pada anak yang telah mengerti tentang cerita, orang tuanya menceritakan tentang ketaatan Nabi Ibrahim as., Nabi Ismail as., dan Siti Hajar dalam proses pelaksanaan ibadah kurban. Hal tersebut akan membuat anak terikat oleh ikatan emosional dengan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut.
Bila diperlukan untuk memantapkan suntikan akidah bagi anak ceritakan pula kisah Nabi Ibrahim as., mencari Tuhan dalam surah al-An’am ayat 74-79. Dan orang tua bisa memberikan kesempatan anak untuk bertanya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pengimplementasian nilai-nilai pendidikan Akidah bisa disuntikan melalui metode bercerita/kisah Qurani dan Nabawi dan tanya jawab dan orang tua/pendidik harus kreatif dalam menggunakan metode-metode ini dan mengemaskan dengan baik hingga bisa diterima oleh anak.
Setelah menanamkan nilai-nilai akidah kepada anak, orang tua bisa mengadakan evaluasi terhadap anak, baik melalui pertanyaan atau observasi sikapnya sehari-hari. Serta tetap membimbingnya hingga benar-benar tertanam nilai-nilai akidah dalam jiwanya.
Akidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, kepada qadla dan qadar baik buruk keduanya dari Allah swt. Keimanan terhadap keenam rukun iman tersebut haruslah didapat dengan proses berpikir dan dilandaskan pada dalil naqli (Alquran & al-Hadis) maupun aqli (nalar). Akal memiliki peran yang sangat besar dalam proses keimanan seseorang.
Allah swt., berfirman dalam surat al-Jaatsiyat ayat 3-4 yang artinya: “Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan binatang-binatang melata yang berterbaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini.”
Menanamkan aspek keimanan kepada anak dapat kita kaji dari langkah-langkah Rasulullah saw., dalam membina dan mendidik pribadi anak selama bergaul dengan anak-anak. Kita akan menemukan lima pola dasar pembinaan Akidah sebagai berikut: Mengajarkan kalimat tauhid, menanamkan cinta kepada Allah swt., menanamkan cinta pada Rasulullah saw., mengajarkan Alquran dan mendidik anak berpegang teguh pada Akidah dan rela berkurban.
1. Mengajarkan Kalimat Tauhid
Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
افتحوا على صبيانكم كلمة لا اله الا الله ولقنوهم عند الموت لا اله الا الله (رواه البيهقى عن مسعود)
Artinya: Jadikanlah kata-kata pertama kali yang diucapkan seorang anak adalah kalimat Laa ilaaha illallaah. Dan bacakan padanya ketika menjelang maut kalimat Laa ilaaha illallaah.
Tujuannya adalah agar kalimat pertama kali yang didengar anak yang baru lahir adalah kalimat tauhid (keesaan Allah). Setelah itu memperdengarkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri.

2. Tanamkan Cinta Pada Allah
Mengenalkan Allah pada anak juga dapat dilakukan dengan terus menerus membiasakan mengucapkan kalimat thayyibah. Seperti mengucapkan Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar disertai dengan aktivitas yang dilakukan sehingga anak bisa menyambungkan bacaan dan aktivitasnya. Misalnya Alhamdulillah diucapkan sebagai wujud rasa syukur ketika selesai melakukan aktivitas tertentu. Subhanallah dilafadzkan jika melihat ciptaan Allah dan sebagainya.
Dapat juga mulai mengenalkan Allah melalui ciptaan-Nya. Anak-anak seusia ini sangat senang dengan binatang. Anak bisa kita ajak ke kebun binatang, mendengarkan suara-suara binatang, bernyanyi dan lain-lain. Tentang siapa Allah, ajarkan surat al-Ikhlas dengan artinya, dan juga lagu-lagu yang syairnya dapat mengenalkan anak pada Allah swt.
3. Tanamkan Cinta pada Rasul
Diriwayatkan oleh Abu Nasr dari Ali ra., bahwa Rasulullah saw., bersabda:
ادبوا اولادكم على ثلاث حصال: حب نبيكم, وحب أهـل بينه, و قرأة القرأن (رواه ابو نصر الشرازى عن علي أمير المؤمنين)
Artinya: “Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: mencintai nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan membaca Alquran.
Para sahabat dan ulama salaf sangat suka menceritakan sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw., terhadap anak-anak mereka. Cerita tentang sejarah kehidupan Nabi akan berpengaruh kepada perkembangan jiwa anak. Karena pemahaman yang baik terhadap kepribadian Nabi saw., secara tidak disadari akan menumbuhkan rasa cinta anak terhadap pribadi beliau. Beliau akan dijadikan sebagai tokoh pujaan yang pada akhirnya anak akan berusaha meniru apa yang beliau telah lakukan selama hidupnya.
Langkah semacam ini secara perlahan akan membentuk pribadi anak mencintai Rasulullah. Anak dapat memahami perjuangan beliau dalam menyelamatkan umat manusia dari lingkungan yang penuh dengan kesesatan menuju lingkungan yang baik, dari kebatilan menuju, dan dari kebodohan menuju cahaya Islam yang gemilang.
4. Mengajarkan Alquran
Al-Ghazali dalam Ihya, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Nashih Ulwan, mengatakan bahwa anak harus diajari tentang Alquran, hadis, dan cerita orang-orang saleh, kemudian hukum-hukum agama.
Mengajarkan Alquran kepada anak berarti mengajak anak untuk dekat kepada pedoman hidupnya. Dengan cara itu, mudah-mudahan kelak ketika dewasa anak-anak benar-benar dapat menjalani hidup sesuai dengan Alquran. Inilah satu-satunya jalan untuk membentuk menjadi manusia yang shaleh. Mengajarkan Alquran pada anak dapat dilakukan dengan mulai mengenalkan, memperdengarkan, dan menghafalkan.
Tak heran bila Rasulullah mengingatkan kita untuk mendidik anak dengan Alquran. Allah berfirman dalam surat al-Isra ayat 9 yang artinya: "Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.
Saat yang paling tepat mengenalkan Alquran adalah ketika anak sudah mulai tertarik dengan buku. Anak usia 2 sampai 3 tahun biasanya sudah mulai tertarik dengan buku. Hal ini penting, karena banyak orang tua yang lebih suka menyimpan Alquran di rak lemari paling atas. Sesekali perlihatkanlah Alquran kepada anak sebelum mereka mengenal buku-buku lain, apalagi buku dengan gambar-gambar yang lebih menarik.
Mengenalkan Alquran juga bisa dilakukan dengan mengenalkan terlebih dulu huruf-huruf hijaiyyah. Bukan mengajarinya membaca, tetapi sekedar memperlihatkannya sebelum anak mengenal A, B, C, D. Tempelkan gambar-gambar tersebut ditempat yang sering dilihat anak.Tentu dilengkapi dengan gambar dan warna yang menarik. Dengan sering melihat, akan memancing anak untuk bertanya lebih lanjut. Saat itulah kita boleh memperkenalkan huruf-huruf Alquran.
Memperdengarkan ayat-ayat Alquran bisa dilakukan secara langsung atau dengan memutar kaset atau CD. Kalau ada teori yang mengatakan bahwa mendengarkan musik klasik pada janin dalam kandungan akan meningkatkan kecerdasan, insya Allah memperdengarkan Alquran akan jauh lebih baik pengaruhnya buat bayi. Apalagi jika ibu yang membacanya sendiri.
Ketika membaca Alquran, suasana hati dan pikiran ibu akan menjadi lebih khusyu’ dan tenang. Kondisi seperti ini, akan sangat membantu perkembangan psikologis janin yang ada dalam kandungan karena secara teoritis, kondisi psikologis ibu tentu akan sangat berpengaruh pada perkembangan bayi khususnya perkembangan psikologisnya. Ibu yang sering mengalami stress, tentu akan berpengaruh buruk pada kandungannya.
Memperdengarkan Alquran bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Juga tidak mengenal batas usia anak. Untuk anak-anak yang belum bisa bicara, Insya Allah lantunan ayat Alquran itu akan terekam dalam memorinya. Dan jangan heran kalau tiba-tiba si kecil lancar melafadzkan surat al-Fatihah, misalnya begitu dia bisa bicara. Untuk anak yang lebih besar, memperdengarkan ayat-ayat Alquran (surat-surat pendek) terbukti memudahkan anak menghafalkannya.
Menghafalkan Alquran bisa dimulai sejak anak lancar berbicara. Mulailah dengan surat atau ayat yang pendek. Atau potongan lafadz dari sebuah ayat (misalnya fastabiqul khayrat, hudallinnas, birrulwalidayn dan sebagainya). Menghafal bisa dilakukan dengan cara sering-sering membacakan ayat-ayat tersebut kepada anak, dan latihlah anak untuk menirukannya. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai anak hafal di luar kepala.
Masa anak-anak adalah masa meniru dan memiliki daya ingat yang luar biasa. Orang tua harus menggunakan kesempatan ini dengan baik, jika tidak ingin menyesal kehilangan masa emas (golden age) pada anak. Menghafal bisa dilakukan kapan saja. Usahakan di saat anak merasa nyaman. Walau demikian, hendaknya orang tua tetap mempunyai target baik tentang ayat, atau jumlah yang akan dihafal anak.
5. Nilai Perjuangan dan Pengorbanan
Mengenalkan anak kepada Allah, Rasulullah, dan Alquran pada anak balita akan menjadi dasar tumbuhnya Akidah dalam jiwa anak. Perlu jadi catatan bahwa menanamkan Akidah pada anak sejak dini merupakan sarana pendidikan yang efektif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Bahkan, bisa menumbuhkan nilai perjuangan dan pengorbanan pada diri anak.
Ceritakan kisah anak-anak para sahabat yang sangat antusias mempelajari ajaran Islam, bahkan tidak sedikit yang berani berkurban untuk menegakkan dan mengharumkan kalimat Allah. Imam Ahmad dan Bukhari mengeluarkan sebuah hadits yang bersumber dari Anas Bin Malik ra., yang menceritakan bahwa Haritsah bin al-Rabi’ ra., ikut dalam perang Badar, padahal dia masih kecil. Tiba-tiba sebatang anak panah mengenai urat lehernya, dan mati syahidlah dia.
Fase kanak-kanak merupakan tempat yang subur bagi pembinaan dan pendidikan. Masa kanak-kanak ini cukup lama, dimana seorang pendidik bisa memanfaatkan waktu yang cukup untuk menanamkan dalam jiwa anak, apa yang dia kehendaki. Jika masa kanak-kanak ini dibangun dengan penjagaan, bimbingan dan arahan yang baik, dengan izin Allah subhanahu wata’ala maka kelak akan tumbuh menjadi kokoh. Seorang pendidik hendaknya memanfaatkan masa ini sebaik-baiknya. Jangan ada yang meremehkan bahwa anak itu kecil.
Mengingat masa ini adalah masa emas bagi pertumbuhan, maka hendaknya masalah penanaman Akidah menjadi perhatian pokok bagi setiap orang tua yang peduli dengan nasib anaknya.
6. Penanaman Akidah
Akidah islamiyah dengan enam pokok keimanan, yaitu beriman kepada Allah subhanahu wata’ala, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, serta beriman pada qadha’ dan qadar yang baik maupun yang buruk, mempunyai keunikan bahwa kesemuanya merupakan perkara gaib. Seseorang akan merasa hal ini terlalu rumit untuk dijelaskan pada anak kecil yang mana kemampuan berfikir mereka masih sangat sederhana dan terbatas untuk mengenali hal-hal yang abstrak.
Sebenarnya setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala di atas fitrah keimanan.
Allah berfirman dalam Alquran surah al-Α’raf ayat 172 yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).’”
Adalah bagian dari karunia Allah subhanahu wata’ala pada hati manusia bahwa Dia melapangkan hati untuk menerima iman di awal pertumbuhannya tanpa perlu kepada argumentasi dan bukti yang nyata. Dengan demikian, menanamkan keyakinan bukan dengan mengajarkan ketrampilan berdebat dan berargumentasi, akan tetapi caranya adalah menyibukkan diri dengan al Quran dan tafsirnya, hadits dan maknanya serta sibuk dengan ibadah-ibadah. Kita perlu membuat suasana lingkungan yang mendukung, memberi teladan pada anak, banyak berdoa untuk anak, dan hendaknya kita tidak melewatkan kejadian sehari-hari melainkan kita menjadikannya sebagai sarana penanaman pendidikan baik itu pendidikan Akidah maupun pendidikan lainnya.
7. Teladan Kita
Jika kita perhatikan para rasul dan nabi, mereka selalu memberikan perhatian yang besar terhadap keselamatan Akidah putera-putera mereka. Perhatian nabi Ibrahim, diantaranya adalah sebagaimana terdapat dalam firman Allah swt., dalam Alquran surah Albaqarah ayat 132 yang artinya: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim berkata): Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam.”
Firman Allah dalam Alquran surah Ibrahim ayat 35, yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.”
Demikian juga Lukman mempunyai perhatian yang besar pada puteranya sebagaimana wasiatnya yang disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Luqman ayat 13 yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”
8. Sejak Masih Kecil
Perhatian terhadap masalah Akidah hendaknya diberikan sejak anak masih kecil. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam memberikan perhatian kepada anak-anak meski mereka masih kecil. Beliau membuka jalan dalam membina generasi muda, termasuk diantaranya Ali bin Abi Thalib yang beriman kepada seruan nabi ketika usianya kurang dari sepuluh tahun. Begitu juga dalam menjenguk anak-anak yang sakit pun beliau memanfaatkan untuk menyeru mereka kepada Islam yang ketika itu di hadapan kedua orang tua mereka.
Menurut Dr. Adil Syadi dan Dr. Ahmad Mazid, ada 10 tip sukses mendidik anak dalam masalah akidah, yaitu:
a. Ajarkan pada anak kalimat tauhid.
b. Ajarkan dan beritahukan kepada anak kenapa kita diciptakan.
c. Jangan sering menakut-nakutinya dengan neraka, siksa, kemurkaan dan hukuman Allah.
d. Buatlah anak lebih banyak mencintai Allah.
e. Peringatkan dia dari berbuat kejahatan dan beri tahukan bahwa Allah selalu melihatnya.
f. Ajarkan dzikir kepada Allah.
g. Ajarkan untuk cinta kepada Rasul.
h. Kuatkan keyakinan anak terhadap qadha dan qadar dalam pikirannya.
i. Ajarakan kepada anak 6 (enam) rukun iman.
j. Ajukan pertanyaan yang berhubungan dengan akidah. Seperti; siapa Rabb-mu? Apa agamamu?
Jika para teladan kita begitu perhatian dengan anak-anak sejak mereka masih kecil, maka sangat mengherankan jika kita membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan kita biarkan begitu saja terdidik oleh lingkungan dan televisi.
Masih banyak kita dapati bahwa oleh banyak orang, anak kecil dianggap tidak layak untuk diberi penjelasan mengenai Alquran dan maknanya, dianggap tidak berhak untuk diberi perhatian terhadap mentalitasnya. Terkadang dengan berdalih “Kemampuan berfikir anak kecil masih sederhana, maka tidak baik membebani mereka dengan hal-hal yang rumit dan berat. Tidak baik membebani anak di luar kesanggupan mereka.” Atau kita juga banyak mendapati ketika anak terjatuh pada kesalahan-kesalahan, mereka membiarkan begitu saja dengan berdalih “Ah… tidak apa-apa, mereka kan masih kecil.”
Dalih yang disampaikan memang tidak sepenuhnya salah, namun sayangnya tidak diletakkan pada tempatnya. Wallahu a’lam.
2. Menanamkan tanggungjawab beribadah
Di samping menanamkan nilai-nilai pendidikan akidah yang terdapat pada ibadah kurban kepada anak, orang tua juga mesti menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah di dalam ibadah kurban kepada anak.
Berdasarkan kemakluman bersama bahwa kebanyakan anak suka bertanya dan berfikir logis baik terhadap permasalahan agama yang dihadapinya ataupun persoalan-persoalan lain. Di sini orang tua dituntut untuk memberikan alasan-alasan logis tentang ibadah kurban. Misalnya saja, ibadah kurban itu adalah suatu ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam, dan ditekankan bagi orang-orang yang mampu. Dalam berkurban dituntut untuk ikhlas, demikian juga untuk ibadah-ibadah lainnya, semuanya harus dilakukan semata-mata karena Allah, tidak boleh ada niatan lain. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah swt., dalam surah al-Hajj ayat 37, yang artinya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Di sini peran orang tua dalam menekankan niat tulus dalam beribadah hanya untuk Allah swt. Orang tua menanamkan kepada agar meniatkan segala bentuk perbuatan yang baik meskipun hal tersebut mubah, agar bernilai di sisi Allah. Misalnya saja makan dan minum, diniatkan untuk kuat beribadah kepada Allah, demikian halnya dengan tidur dan lain-lain. Dalam ibadah kurban ada ibadah besar yang tidak bisa dikesampingkan, yaitu ibadah haji. Orang tua harus bisa menjelaskan tentang haji secara global kepada anak, hingga anak mampu mencerna hal-hal yang halus dari ibadah haji dan puasa termasuk mengemukakan hikmah-hikmah dalam ibadah haji dan kurban.
Firman Allah swt., dalam Alquran surah Luqman ayat 17, yang artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Hadis Nabi saw., yang berbunyi:
مروا اولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر سنين وفرقوا بينهم فى المضاجع (رواه ابو داود(
Artinya: Perintahkan anak-anak kalian untuk (mengerjakan) shalat ketika mereka berumur 7 tahun, dan pukullah mereka karena (meninggalkan) sholat ketika mereka berumur 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.
Al-Malibari menjelaskan bahwa anak-anak diperintahkan shalat pada umur 7 tahun sempurna (perlu diingat bahwa ini adalah 7 tahun dalam hitungan tahun hijiriah bukan masehi, sehingga diharapkan orang tua tidak menunda kewajiban dan tanggung jawabnya mendidik anak untuk belajar shalat) dan seharusnya diperintah dengan perintah yang sungguh-sungguh dan wajib memukulnya bila ia meninggalkan shalat pada umur 10 tahun dengan pukulan yang tidak menyakiti (membahayakan).
Dr. Adil Syadi dan Dr. Ahmad Mazid, mengemukan ada beberapa tip untuk menyuntikkan tanggung jawab ibadah, yaitu:
a. Ajarkan kepada anak 5 (lima) rukun Islam
b. Latih anak mengerjakan shalat
c. Ajak anak ke mesjid dan ajarilah cara berwudhu yang benar
d. Ajarkan etika-etika di mesjid
e. Latihlah untuk berpuasa
f. Motivasi anak untuk menghafal apa yang mudah dari Alquran dan hadis, serta ajari dzikir-dzikir yang shahih
g. Berilah hadiah bila ada kemajuan dalam menghafal
h. Jadilah teladan yang baik bagi anak
i. Latihlah anak untuk bersedekah dan berinfak.

3. Menanamkan kebiasaan berakhlak mulia
Setiap pengalaman yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Bekal pertama bagi orang tua adalah ia merupakan pribadi yang dapat dijadikan contoh teladan dari pribadi Islami, orang tua bersifaf jujur, tawadhu’, berani, benar, dan sebagainya. Keimanannya tercermin dalam pribadinya, perlakuannya terhadap anak menyenangkan, kasih sayang dalam membina dan mendidik meski tidak harus diwujudkan dengan memberikan segala apa yang dikehendaki anak dan membiarkan kesalahan anak tanpa dibenarkan. Hukum diberikan bila diperlukan.
Bekal kedua adalah pengertian dan kemampuannya untuk mengerti dan memahami perkembangan jiwa anak serta perbedaan antara anak. Latihan-latihan keagamaan pada anak usia 7-10 tahun harus diberikan, hal tersebut selain mencerminkan dari pengamalan hadis Nabi, juga untuk menanamkan kepribadian Islami pada diri/jiwa anak. Latihan-latihan keagaan tersebut bisa berupa shalat, doa, membaca Alquran (menghafalkan surah-surah pendek), shalat berjamaah di mesjid/musholla, hingga lama kelamaan ia akan tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, terbiasa dan mengalir pada jiwanya tanpa dorongan siapapun.
Keluarga sangat berperan besar dalam mengembangkan kepribadian anak, mengingat keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak, dimana norma-norma, budi pekerti, hal-hal mengenai kehidupan diperkenalkan kepada anak melalu keluarga. Orang tua dalam hal ini menjadi peran utama dalam mengembangkan kepribadian anak dan membentuk karakteristik anak, dalam keluarga yang terdapat kehangatan dalam keluarga anak akan mendapatkan sesuatu untuk dipelajari dan diolah menjadi karakteristik anak tersebut, sebagai contoh: anak yang berbudi pekeri baik sudah dapat dipastikan didalam keluarganya ia mendapat kehangatan kasih sayang serta komunikasi yang cocok di dalam keluarga, namun bila ada anak yang nakal dapat tercermin bahwa dia kurang mendapat kehangatan kasih sayang dalam keluarga. Namun hal ini tidak dapat dipastikan sebagai penyebabnya. bisa saja karenapengaruh lingkungan yang kurang baik sehingga anak tersebut berperilaku menyimpang. Hal ini dapat diatasi dengan mengawasi pergaulan anak serta mengadakan pengawasan yang tinggi terhadap pergaulan anak sehingga kepribadian anak dapat terbentuk dengan baik
Kepribadian yang baik yang terbentuk dari kecil dapat membantu kehidupan kelak dimasa dewasa. Yakni mudahnya anak menyesuaikan diri dengan lingkungan yang pada akhirnya anak akan mudah beradaptasi dengan berbagai macam lingkungan dan mudah dalam kehidupan, hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh,misalnya saja anak yang mempunyai pribadi yang baik dia akan selalu berperilaku baik dan akan pasti akan selalu berbuat yang baik kepada lingkungan kehidupannya. Semua ini dapat terjadi dengan peran orang tua yang baik dan selalu mengontrol hal-hal yang dilakukan anak sesuai dengan porsinya. Karena orang tua merupakan tempat yang utama dan pertama berperan dalam pembentukan kepribadian anak, dalam hal ini komunikasi sangat diperlukan dalam mendidik anak agar tercipta kepribadian yang baik sesuai dengan harapan keluarga.
Komunikasi yang efektif merupakan komunikasi yang berasal dari kedua belah pihak yang saling berperan dan mendapat respon ataupun umpan balik dari lawan komunikasi, untuk itu bahasa yang di gunakan haruslah komunikatif yakni dapat mudah dimengerti. Hal ini sangat diperlukan dalam komunikasi didalam keluarga untuk mendidik anak.
Firman Allah dalam Alquran surah Luqman ayat 17, yang artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Hadis Nabi saw., yang berbunyi:
مـا نحل والد ولده افضل من أدب حسن (رواه الترمذى والحـاكم عن عمرو ابن سعيد بن العـاص)
Artinya: Tidak ada perberian orang tua terhadap anaknya yang lebih afdhal dari mengajarkan adab yang baik.
Dr. Adil Syadi dan Dr. Ahmad Mazid, mengemukan ada beberapa tip untuk menyuntikkan nilai akhlak, yaitu:
1. Jangan menanamkan rasa takut pada anak
2. Jujurlah terlebih dahulu agar anak belajar kejujuran dari orang tua
3. Jelaskan kepadanya nilai keutamaan sifat jujur dan amanah
4. Ujilah sifat amanah anak tanpa dia menyadari
5. Latihlah kesabaran
6. Orang tua harus adil di antara anak-anaknya
7. Ajarilah untuk mendahulukan kepentingan orang lain (bisa dengan metode cerita)
8. Jelaskan dampak negatif perbuatan jahat
9. Berilah motivasi bila ia berani menegakkan kebenaran
10. Jangan bersifat keras kepada anak
11. Buatlah anak menyukai perilaku rendah hati, lemah lembut dan tidak sombong.
12. Ajarilah anak tentang fitrah manusia
13. Ajarilah anak tentang kezholiman dan dampak negatifnya.
14. Jelaskan perbedaan-perbedaan perbuatan negatif dan positif
15. Tanamkan sifat kedermawanan pada anak
16. Jangan pernah ingkar janji kepadanya (selamanya).
Dapat dilihat dari kisah, tanya jawab Nabi Ibrahim as., dan Nabi Ismail as., tentang perintah penyembelihan Nabi Ismail as. Ini membuktikan kepada kita bahwa orang tua tidak boleh juga otoriter dan memaksakan kehendak kepada anak. Nabi Ismail as., sebagai contoh anak yang taat dan berbakti kepada orang tua. Di sini juga ada perintah untuk membaguskan sembelihan dengan cara menajamkan pisau penyembelihan, agar binatang yang disembelih tidak tersiksa dengan cepatnya dia mati. Dalam kurban juga ada perintah untuk membagikan daging kurban kepada kaum fakir miskin, sehingga tumbuh rasa silaturahmi dan persaudaraan, serta menumbuhkan jiwa kedermawanan bagi setiap muslim.
Orang tua bisa menyuntikkan nilai-nilai pendidikan akhlak kepada anak dengan perumpamaan, contoh, cerita, tanya jawab dengan anak dengan tidak mengesampingkan variatif dalam metode penanaman nilai-nilai tersebut.








DAFTAR KUTIPAN BAB III



Comments

Popular Posts